Belum sampai satu hari Vista jalani tapi rasanya sudah benar-benar berat. Dia sedari tadi hanya melamun di dalam kelas, memikirkan segala kemungkinan buruk yang mungkin sedang menantinya.
"Pelajaran hari ini Ibu cukupkan, sampai bertemu Minggu depan."
Vista masih termenung, membuat Jesen menyenggol-nyenggol bahunya. "Lo mau ngelamun di sini sampai kapan? Nggak mau pulang?"
"Udah jam pulang, ya?" tanya Vista seperti orang bodoh.
Jesen menunjuk sisi lain kelasnya dengan dagu. "Lihat, mereka semua udah pulang duluan."
"Lagian kerjaan lo ngelamun terus. Sadar diri, udah goblok jangan makin diperparah." Jesen menghina dengan santainya. "Dasar bego!"
"Mulutnya minta diparut," sinis Vista sembari cepat-cepat membereskan alat tulisnya.
Selagi Vista masih sibuk, Jesen mengamati saja. "Mau ditungguin?"
"Nggak usah."
"Serius?" tanya Jesen khawatir. Dia juga cukup peka kalau Vista sedang tidak baik-baik saja.
"Iya, Jesen."
Jesen mendelik. "Jessie!!"
Vista tertawa menatap wajah memerah Jesen, cepat atau lambat Jesen harus bisa mengubah dirinya. "Iya, Jesen."
Jesen memutar bola matanya malas, dia memutuskan untuk tetap menunggu Vista. Tangan lentiknya mengeluarkan bedak dari saku seragam, berkaca di sana menatap wajahnya yang mengkilap.
"Gue nggak bisa gini!" jeritnya heboh lalu memoles wajahnya dengan bedak. Tipis-tipis saja sampai wajahnya terlihat lebih baik.
Vista melirik sekilas, dia akui jika urusan begini Jesen memang paling juara. Wajar saja jika Jesen disukai banyak perempuan. Disukai dalam artian Jesen enak menjadi teman mengobrol perihal hal seperti ini.
"Gue harus pakai sunscreen, kulit cantik gue nggak boleh kebakar."
"Gue udah selesai." Vista bangkit dari duduknya. "Kalau lo masih mau ribet di sini, gue tinggal."
Baru saja Jesen mengeluarkan produk-produk kecantikan yang dia bawa, Vista sudah meninggalkannya. "Lo emang nggak tau diri!" teriak Jesen lalu cepat-cepat menyusul Vista.
Vista merangkul Jesen. "Jangan ngambek, nanti kelihatan makin jelek."
Jesen makin memberengut kesal, bahunya dia gerak-gerakkan supaya tangan kurang ajar Vista menyingkir dari sana.
Saat hendak melewati lapangan basket, matanya menatap awas. Di sana ada Achio dan teman-temannya, ini jelas suatu ancaman untuknya. "Kita ambil jalan lain, ya?"
Jesen yang sudah kesal menjadi semakin kesal. "Lo gila? Gerbang sekolah udah deket dari tempat kita berdiri."
"Lo nggak lihat ada Achio di sana?" Vista berbisik sambil memberi kode.
Jesen segera menolehkan kepalanya ke tempat yang diarahkan. "Oh iya, oke kita muter."
Baru saja Jesen menarik tangan Vista, sebuah bola melambung mendekati mereka. Kedua pasang mata itu memejam dengan bibir yang sama-sama menjerit. Bedanya, jeritan Jesen lebih menggelegar dari Vista.
Bruk!
"Sialan!" Vista memegangi perutnya yang terasa sakit sebab terkena lemparan bola yang tidak bisa dikatakan pelan.
Jesen yang masih menjerit mendapat cubitan di kakinya. Refleks laki-laki itu berhenti menjerit, menunduk menatap Vista yang duduk di sebelah kakinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Vistachio
Ficção Adolescente"Jauhin bokap gue!" "Maksudnya?" Vista memasang tampang polos, memuakkan. Achio menarik kerah seragam Vista, membuat kaki gadis itu sedikit berjinjit. "Gue benci manusia sok polos kayak lo!" desisnya tajam. Menjadi simpanan suami orang itu salah, ta...