07. Ruang Musik

4.7K 469 524
                                    

Jika boleh jujur, Vista sedikit kebingungan hari ini. Jam istirahat pertama sudah lewat tapi dia masih aman-aman saja. Apa Achio sudah mendapat hidayah hingga tidak merecokinya? Atau laki-laki itu sudah pasrah terhadap hubungan orang tuanya? Rasanya tidak mungkin dia menyerah begitu saja.

Mencoba melupakan, sedari tadi Vista berjalan sendirian untuk sekedar menikmati kebebasannya. Dia juga tidak tahu harus kemana, sampai langkahnya terhenti di depan ruang musik. Menempelkan telinga pada pintu dan mendengar suara drum, sepertinya ada seseorang di dalam sana.

Rasa penasaran menarik kakinya untuk melangkah masuk ke dalam ruangan musik setelah pintunya terbuka setengah. Sesaat matanya terpaku menatap laki-laki yang sedang bermain drum, permainan penuh emosi.

Sepuluh detik masih bertahan, sampai akhirnya dia sadar telah menggali kuburannya sendiri sesaat melihat Achio yang bermain drum telah menghentikan kegiatannya. Melempar tatapan tak bersahabat pada Vista hingga membuat perasaannya semakin kacau.

"Gimana? Udah jadi gembel?" Vista yang memulai perdebatan setelah terjadi keheningan selama beberapa saat. Dia tidak tahan ingin mengolok-olok Achio.

Vista memasang wajah sedih. "Di depak dari rumah, ya? Kasihan."

Menatap keterdiaman Achio membuat Vista ingin segera pergi. Sepertinya laki-laki itu sedang tidak ingin berdebat, lagipula Vista juga tidak nyaman ditatap seperti itu dalam jangka waktu yang lama. Kegiatannya menarik kenop pintu tiba-tiba terhenti.

"Kalau keluarga lo hancur, tolong jangan hancurin keluarga gue juga."

Vista membeku mendengar permintaan laki-laki itu. Tidak ada nada kemarahan dari suaranya, yang ada hanya nada permohonan penuh keputusasaan.

"Jadi, lo nyerah?" Vista tersenyum miring.

Ternyata Achio salah sempat berpikir meminta baik-baik pada gadis ular ini. Emosinya kembali naik ke atas kepala, dengan cepat dia mendekati Vista lalu mendorong tubuh gadis itu.

"Kalau lo nggak berguna di keluarga lo, jangan masuk ke keluarga gue!" desis Achio tajam.

"Lo?!" Vista menunjuk wajah Achio. "Jangan asal ngomong, lo nggak tau apa-apa tentang hidup gue!"

"Gue tau hampir semuanya, lo itu pembawa sial!"

Pembawa sial. Kalimat itu berputar-putar di dalam pikirannya seperti kaset rusak. Langkahnya mundur sampai tubuhnya lagi-lagi membentur pintu di belakangnya. Kakinya terasa sangat ringan, apalagi ketika mendapati tatapan tajam dari Achio.

"Dari kecil, lo merusak segalanya!"

"Nggak!" teriak Vista dengan keringat dingin yang mulai membanjiri wajahnya, masalah itu tidak boleh diketahui siapa pun kecuali keluarganya.

"Bahkan keluarga lo hancur karena diri lo sendiri, sialan!" teriak Achio keras. "Belum puas, lo juga hancurin keluarga gue!"

"Nggak!" sanggah Vista. "B-bukan gue!"

"Akh!" Kepala Vista mendongak saat Achio menarik rambutnya dengan kuat. "S-sakit, lepasin!"

Achio justru semakin mengeratkan tarikan pada rambut Vista. "Denger, gue nggak pernah main-main sama ucapan gue."

"Lo orang pertama yang masih aman setelah berhadapan sama gue."

Di kondisi seperti ini, Vista masih sempat menyeringai lebar. "Terus?"

Achio mendekatkan bibirnya pada telinga Vista. "Sebelum lo kenapa-kenapa, turutin perintah gue."

Brak!

Tubuh Vista membentur pintu di belakangnya dengan cukup keras. Achio benar-benar sudah kehilangan kesabarannya. Tidak memberi kesempatan untuk Vista kabur, satu tangannya mencengkram leher Vista. Ingin sekali mencekik gadis itu lebih kuat, tapi jujur dia tidak bisa.

VistachioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang