Dengan setelah jas hitam yang melekat sempurna di tubuhnya, Achio berjalan dengan derap langkah tergesa masuk ke ruangan rawat Vista. Sebelum dia menghadiri resepsi pernikahan Mamanya, Achio menyempatkan bertemu Vista untuk sekedar melihatnya lebih lama karena besok gadis itu sudah akan pergi ke Singapura.
"Rapi banget, mau kemana?" tanya Diego yang malam ini bertugas menjaga Vista.
Melihat ekspresi wajah Achio yang tampak sedang tidak baik-baik saja, Vista menatap Diego. Lewat tatapannya, dia memberi isyarat agar Diego meninggalkan mereka berdua di dalam sini untuk berbicara.
Mengerti, Diego bangkit dari duduknya sebelum akhirnya melangkah keluar mencoba memberi waktu agar kedua remaja itu bisa bicara lebih leluasa.
"Sini!" panggil Vista sambil merentangkan tangannya.
Hal itu disambut baik oleh Achio, laki-laki itu memeluk tubuh Vista begitu erat. Katakan saja bahwa Achio laki-laki lemah, tapi memikirkan Gretha dan Feron yang telah resmi menikah, Naresh yang tampak benar-benar kacau, dan fakta bahwa gadisnya akan pergi jauh membuat perasaannya begitu sesak.
"Gue sayang sama lo," lirih Achio di telinga Vista.
"Are you okay?" tanya Vista pelan. Tangannya tidak tinggal diam karena sudah bergerak mengelus punggung tegap laki-laki itu. "Berat, ya?"
Di pundaknya, Achio mengangguk. "Bisa nggak kalau lo jangan pergi?" tanya Achio dengan suara serak. "Gue butuh lo."
Mendengar permohonan itu, Vista tertawa kecil. "Katanya mau lihat gue sembuh."
Achio diam, mungkin sekitar sepuluh menit laki-laki itu tidak melepaskan pelukan mereka. Justru bagi Vista, pelukan Achio rasanya semakin mengerat setiap menitnya. Dia tidak tahu kenapa, tapi Achio terlihat cukup berbeda malam ini.
Mungkin sebab pernikahan orang tuanya yang tidak dia inginkan dan keberangkatan Vista ke Singapura untuk mendapatkan pengobatan yang lebih baik cukup membuat laki-laki itu hancur.
"Achio?" Vista berusaha mendorong bahu laki-laki itu. "Yakin mau pergi?"
Walau ragu, Achio menganggukkan kepalanya. Naresh yang memintanya datang karena laki-laki itu masih sangat peduli dengan perasaan Gretha yang pasti akan sangat sedih jika Achio tidak menghadiri acara bahagianya.
Achio menatap mata Vista. "Di sana harus kuat, ya?"
Pertanyaan itu menghadirkan anggukan kecil dari gadis yang duduk di atas brankar. "Tungguin gue pulang, ya?"
Mengangguk, senyum manis terbit dari bibir laki-laki itu. "Gue pasti tungguin lo pulang."
Gadis itu tidak merespon apa-apa selain tersenyum menatap wajah laki-laki yang berdiri di sisi brankarnya.
Tangan Achio terulur ke depan untuk mencubit gemas hidung Vista. "Waktu lo pulang nanti, lo pasti udah sembuh dan nggak ngerasa sakit lagi."
Vista memukul-mukul tangan Achio yang masih mencubit hidungnya. "Kalau gue sembuh, hadiahnya apa?"
Memajukan sedikit wajahnya, hal ini sukses membuat Vista kesulitan menelan ludah. "Maunya apa?"
Mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk, sesaat Vista memikirkan apa yang ingin dia minta pada laki-laki itu.
"Mau terus bareng sama lo!" jeritnya tertahan.
Achio berusaha mengulum senyumnya. "Lagi?"
"Mau peluk lo," ucap Vista tanpa berpikir panjang. "Bisa, 'kan?"
"Hm."
"Jawab yang bener!" Vista menuntut dengan tatapan menajam. "Ayo, buat janji!"
"Nggak mau," goda Achio sebelum menjulurkan lidahnya pada gadis yang sudah memberengut kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vistachio
Teen Fiction"Jauhin bokap gue!" "Maksudnya?" Vista memasang tampang polos, memuakkan. Achio menarik kerah seragam Vista, membuat kaki gadis itu sedikit berjinjit. "Gue benci manusia sok polos kayak lo!" desisnya tajam. Menjadi simpanan suami orang itu salah, ta...