"Safira.." panggil Ayah lembut membangunkanku yang sedang tertidur.
"Safira, bangun nak!" lanjut Ayah kembali membangunkanku.
Ku buka mataku perlahan, menatap samar-samar Ayah yang tengah duduk di sebelahku. Aku lalu mengangkat tubuhku duduk di atas ranjang.
"Kenapa Yah?" tanyaku heran melihat Ayah yang tumben-tumbennya membangunkanku pagi itu.
Hampir setiap hari usai melaksanakan solat subuh, aku akan kembali ke ranjang lalu pergi tidur hingga siang mulai datang. Dan Ayah tidak pernah sekalipun membangunkan tidur pagiku selama ini. Entah apa yang membuatnya membangunkanku pagi itu. Aku hanya sedikit merasa bingung dan terheran.
Ayah tersenyum kepadaku. Ia terlihat sangat aneh. Seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku kemudian beranjak dari ranjang, berjalan keluar kamar meninggalkan Ayah yang masih duduk di ranjangku.
Ku usap wajahku dengan air, berusaha menghilangkan rasa ngantuk pagi itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar Ayah dan
Ibu. Sudah menjadi rutinitas bagiku mengecek kamar mereka setiap bangun. Dan Ibu ternyata masih tertidur di dalam sana.Ku balikkan badanku hendak keluar dari kamar itu. Aku terkaget. Ayah ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar tersebut. Ia menghalangiku untuk keluar.
"Kenapa Yah?" tanyaku yang semakin heran melihat tingkah Ayah yang sangat aneh pagi itu.
Ayah mengangkat kepala, memberikan isyarat menunjuk kepada Ibu yang sedang tertidur di dalam kamar itu. Aku menelan ludah. Diriku benar-benar tak paham dengan maksud ayah itu.
Ayah kemudian menunjuk kepada ibu dengan jari telunjuknya. Aku seketika dibuat semakin terheran dan kebingungan dengan tingkah pria itu.
"Lihat ibumu.." ujar Ayah dengan nada pelan. Pria itu masih menunjuk ke arah Ibu dengan jari telunjuknya.
Aku menggelengkan kepala, bukan karena tak mau, namun karena tak mengerti. Aku tak mengerti dengan maksud Ayah itu. Aku pasrah. Kemudian berjalan mendekati ibu, lalu duduk di sebelahnya.
Ku sentuh lembut tangan ibu yang sedang tertidur, menuruti apa yang ayah suruh barusan.
Tangan ibu terasa sangat dingin. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada Ibu saat itu. Sepertinya ia sedang kedinginan.
Ayah berjalan mendekatiku, ia tiba-tiba saja menangis. Sungguh baru kali itu aku melihat ayah menangis, dan aku tidak mengerti dengan maksud tangisannya.
"Ibumu..." ujar ayah. Tetesan air matanya terus mengalir. Membuat hatiku terasa guncang seketika.
Saat itu-lah aku mulai tersadar dan mengerti dengan jawaban dari semua keanehan ayah pagi itu. Mulai dari membangunkan tidur pagiku, menghalangiku di depan pintu, menyuruhku melihat ibu, sampai ketika ia menangis.
Aku menelan ludah. Tetes air mata pertama mulai terjatuh. Ku ambil tangan ibu yang sedang terbaring di ranjang itu. Kemudian menyentuh denyut nadi
yang ada di pergelangan tangan kirinya.Aku tak merasakan apapun. Tidak ada detakan jantung atanpun terasa getaran. Ku coba mendekatkan jari telunjukku pada hidung Ibu. Berusaha menolak mentah-mentah dugaan yang ku pikirkan saat itu.
Dan ternyata, tak terasa juga hembusan napas dari dalam hidungnya.
Tetesan air mata mulai berjatuhan, menyusul tetesan pertama yang baru saja terjatuh beberapa saat yang lalu. Tak ku sadari kini wajahku telah banjir dengan air mata.
Ku dekap tubuh Ibu yang sudah terbaring kaku. Lalu ku genggam telapak tangannya dengan sangat erat. Tangisanku semakin tersedu-sedu.
Ayah masih menangis di belakangku. Ia saat itu tengah menyaksikan perpisahan terakhir antara sosok ibu dengan seorang anak gadisnya. Seluruh tubuh Ibu benar-benar terasa sangat dingin.
Ibu telah tiada pagi itu.
• • •
Ayah memberikan kabar mengenai kepergian ibu kepada tetangga, saudara, dan teman-temannya.
Siang itu para tamu berdatangan untuk melihat jasad Ibu dan untuk ikut memakamkan. Ayah kemudian memandikan jasad ibu sebelum di sholatkan.
Hatiku benar-benar merasa sangat putus asa. Ditinggalkan oleh ibu sendiri adalah sebuah hal yang sangat amat menyakitkan. Terutama bagi anak perempuan sepertiku.
Kini Aesya Safira sudah menjadi sosok anak yang piatu. Sosok anak perempuan yang sudah tidak memiliki ibu lagi.
Nenekku datang ke rumah siang itu, ia menyaksikan langsung dengan mata dan kepalanya sendiri tubuh anak perempuannya sudah terbaring tak bernyawa.
Aku kemudian memeluk nenek, menangis tersedu-sedu di dalam pelukan itu. Nenek mengelus-elus kepalaku yang tertutup dengan hijab. Ia berusaha menenangkanku sambil berusaha menenangkan dirinya juga.
Jasad ibu kemudian dibawa menuju ke sebuah masjid yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Para tamu yang datang siang itu kemudian menyolatkan jasad ibu. Dan Ayah-lah yang mengimami sholat jenazah Ibu siang itu.
Saat itu aku sedang halangan. Hatiku benar-benar merasa sangat hancur. Aku merasa bersalah dengan Ibu karena tak bisa ikut menyolatkan jenazahnya.
Aku berdiri di halaman masjid sambil menunggu sholat jenazah itu selesai. Tetes demi tetes air mata terus menerus berjatuhan membanjiri wajahku.
Hari itu banyak yang merasa kehilangan. Mulai dari nenek yang kehilangan anak perempuannya. Ayah yang kehilangan istrinya. Para sepupuku yang kehilangan bibinya. Adik-adik Ibu yang kehilangan kakaknya. Nenek dan kakek dari ayahku yang kehilangan menantunya. Sahabat ibu yang kehilangan sahabatnya. Dan aku, anak
perempuan yang kehilangan ibunya.Usai disolatkan, jasad Ibu yang diletakkan di dalam keranda mayat kemudian dibawa mengenakan mobil ambulans menuju tempat pemakaman.
Di tempat pemakaman, keranda mayat ibu mulai dibuka. Aku berdiri tak jauh darinya. Melihat tubuh Ibu yang sudah tak bernyawa dibungkus dengan kain kafan.
Aku ingin megecup kening ibuku, aku juga ingin memeluk tubuhnya. Namun tak bisa, aku takut mengotori jasad ibu yang telah bersih dan suci sehabis dimandikan tadi.
Aku menahan diriku untuk tetap menjadi perempuan yang sabar dan kuat seperti sosok
Aisyah radhiyallahu anha.Tangisanku lama-kelamaan semakin mengencang. Aku benar-benar merasa seperti orang yang kehilangan jiwanya saat itu.
Aku merasa seperti berada di dalam mimpi. Namun tidak, kepergian Ibu itu memanglah sebuah kenyataan. Ditinggalkan oleh ibu adalah hal yang paling menyakitkan selama aku hidup 18 tahun.
Jasad Ibu mulai dikeluarkan dari atas keranda mayatnya. Ayah dan beberapa orang lainnya kemudian memasukkan perlahan jasad Ibu ke dalam liang lahat pemakamannya.
Butir demi butir tanah mulai menutupi jasad ibuku. Para penggali kubur mulai memasukkan tanah kembali ke dalam lubang makam ibuku itu.
Aku tak kuasa menahan tangis, hari itu benar-benar sangat menyakitkan bagiku.
Aku menyaksikan dengan mata dan kepalaku sendiri, wanita yang telah merawatku sedari kecil, sosok wanita yang selalu perhatian denganku, wanita yang selalu mendukung dan menyemangati diriku selama ini, di masukkan ke dalam lubang tanahnlalu di kuburkan.
Tak ada yang ku pikirkan saat itu selain Ibu. Masa lalu bersama dirinya, selama ia masih hidup tiba-tiba saja teringat secara menyeluruh di dalam pikiranku. Aku teringat kembali dengan masa lalu bersama Ibu.
Deras air mataku hari itu benar-benar sangat sulit untuk-ku jelaskan. Air mata yang berjatuhan dari mataku hari itu bagai hujan deras yang membasahi permukaan bumi.
Hari itu adalah hari yang sangat menyakitkan bagiku. Hari itu aku telah menjadi sosok anak perempuan yang piatu.
Ibuku sudah meninggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA SAINGANKU ADALAH TUHAN [END]
Romance𝑻𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝑺𝒂𝒇𝒊𝒓𝒂... Namanya Aesya Safira.. Seorang gadis cantik yang terinspirasi dengan sosok perempuan hebat yaitu Aisyah radhiyallahu anha. Ayahnya menamakannya dengan nama "Aesya" bertujuan agar anak gadisnya itu tumbuh dewasa menjadi...