47

1.5K 267 6
                                    

Pukul 18.20.
Aku berjalan keluar dari musholla setelah melaksanakan sholat maghrib.

"Udah?" tanya Javir yang sudah menungguku di luar musholla itu. Aku kemudian mengangguk.

"Yaudah yuk!" lanjut Javir mengajakku. Kami lalu mulai berjalan bersama menuju tempat Javir memarkirkan motor-nya tadi.

Baru berjalan beberapa langkah. Tiba-tiba saja tatapanku teralihkan dengan sosok laki-laki yang tengah duduk merenung pada tembok pembatas beberapa meter di hadapan kami.

Aku benar-benar terkaget. Sangat amat terkaget. Sosok laki-laki yang duduk tak jauh dariku itu adalah Kahfi. Pria itu tengah duduk merenung sambil menundukkan kepalanya menghadap jalan.

"Bagaimana bisa ada Kahfi disini? Apa yang pria itu lakukan?" tanyaku dalam hati.

Hatiku benar-benar terasa sangat gelisah. Aku takut Kahfi melihatku saat itu. Suasana seketika terasa sangat menegangkan. Langkahku terhenti, aku ragu untuk lanjut berjalan dan melewati pria itu.

Javir yang melihatku berhenti kemudian ikut berhenti. Pria itu lalu melangkah ke hadapanku dan menatapku dengan tatapan terheran-heran.

"Kamu kenapa Asya?" tanya Javir bingung. Aku hanya terdiam, tatapanku terfokus pada wajah Kahfi yang sedang menunduk.

"Asya...?" panggil Javir kembali.

Deg...
Kahfi mengangkat kepalanya. Pria itu terlihat hendak melihat ke arahku. Aku sontak terkaget, lalu bru-buru membalikkan badan.

"Kenapa sih Sya?" tanya Javir penasaran. Pria itu lalu memutarkan kepalanya menatap ke arah Kahfi.

Aku buru-buru menarik tangan Javir. Berjalan dengan cepat berbalik arah. "Matiiiiiii..." pekikku kecil.

"Kenapa sih Sya?" tanya Javir semakin bingung. Aku hanya terdiam, terus berjalan dengan cepat sambil menarik lengan Javir.

"Sya!" panggil Javir keras sambil menahan tangannya. Saat itu kami sudah cukup jauh dari Kahfi. Namun pria itu masih dapat terlihat.

"Kamu kenapa sih? Kalo aku nanya di jawab dong!" seru Javir kesal.

Aku lalu membalikkan badan menatap pria itu. Tatapanku malah tak sengaja melihat ke arah Kahfi lagi. Pria itu ternyata sedang menatap ke arah kami. Aku seketika bertambah panik.

"Udah Vir, kapan-kapan aku kasih tau!" jelasku kepada Javir. Aku lalu menarik tangan pria itu kembali menjauh dari Kahfi.

Javir hanya terdiam, pria itu kemudian lanjut berjalan dengan pasrah. Aku benar-benar tak menyangka saat itu. Bagaimana bisa ada Kahfi disana? Apa yang pria itu lakukan? Entahlah!

"Yang tadi itu, bukannya saudara kamu ya?" tanya Javir tiba-tiba. Aku sontak terkaget mendengar pertanyaan pria itu.

"Hah? Yang mana?" sahutku berpura-pura.

"Tadi ada cowok yang duduk di pinggiran itu... Perasaan kemaren aku pernah liat dia di rumahmu" jawab Javir.

"Hah beneran?" sahutku berpura-pura kembali.

"Iyaa! Tapi aku nggak tau juga sih, soalnya liatnya cuman sekilas" jawab Javir.

"Iya! Kaya-nya bukan! Soalnya saudaraku itu anak-nya rumahan banget! Jadi nggak mungkin dia kesini.." jelasku berbohong.

"Oooh gitu.. Yaudah, jadi kita mau kemana?" balas Javir bertanya.

"Hmm... Makan aja dulu! Abis itu baru pulang!" jawabku memberi usul.

"Oke!" sahut Javir sambil tersenyum. Pria itu kemudian mengajakku ke sebuah restoran yang berada di pinggir pantai Ancol itu.

Jantungku benar-benar berdetak dengan sangat kencang. Aku sangat panik mendengar pertanyaan Javir tadi. Pria itu pernah melihat Kahfi? Kapan ia melihat Kahfi? Apakah saat Kahfi memelukku itu? Sudahlah! Aku malas memikirkan itu. Hatiku akan terasa semakin tidak tenang.

KETIKA SAINGANKU ADALAH TUHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang