38

1.8K 297 3
                                    

Pukul 09.30
Motor yang dikendarai Javir berhenti. Kami telah sampai di depan rumah om Syahid.

Aku lalu turun dari motor. Melepas helm yang ku kenakan kemudian mengembalikan helm tersebut kepada Javir.

"Vir, makasih ya! Aku ngga tau apa yang bakal terjadi kalo nggak ada kamu kemaren.." seruku berterima kasih.

"Sama-sama Asya...!" sahut Javir dengan girang. Aku lalu tersenyum tipis sambil menunduk malu.

"Yaudah Vir, aku masuk dulu ya..." seruku berpamit. Javir lalu menganggukkan kepalanya sembari tersenyum manis.

Aku kemudian segera berjalan hendak masuk ke dalam rumah. Ternyata Javir saat itu belum juga pergi. Pria itu hendak pergi setelah memastikanku sudah masuk ke dalam rumah.

Tok, tok, tok...
Aku mengetok pintu rumah.

"Assalamualaikum.." seruku mengucapkan salam.

"Waalaikumussalam" jawab seseorang dari balik pintu rumah itu. Sosok yang menjawab salamku itu adalah Kahfi. Pria itu kemudian mulai membukakan pintu.

"Fira...?" ujar Kahfi terkaget melihat sosokku yang berdiri di depan pintu.

Kahfi tiba-tiba mendekat kepadaku. Pria itu lalu memeluk tubuhku dengan sangat erat di depan pintu rumah itu.

Deg...
Aku benar-benar sangat terkaget. Kahfi memelukku langsung di depan mata dan kepala Javir. Ya, aku benar-benar merasa sangat tidak enak dengan Javir.

Entah mengapa, tiba-tiba saja air mataku metes. Sangat amat deras. Aku merasa sangat tak berdaya dengan semua yang semesta berikan kepadaku saat itu.

"Kamu kemana aja Fir? Semua orang khawatir sama kamu.." tanya Kahfi sembari memeluk tubuhku.

Aku buru-buru melepas pelukan Kahfi. Mengusap wajahku yang telah berlinangan dengan air mata. Aku sontak berbalik melihat ke belakang. Melihat ke arah Javir.

Javir hanya terdiam sambil menatap kosong ke arah-ku dan Kahfi. Pria itu kemudian menelan ludahnya, lalu tersenyum kepadaku dan langsung naik ke atas motor. Javir kemudian langsung pergi meninggalkan rumah itu.

Tangisanku menderas. Suasana entah mengapa terasa kembali mencekam. Aura cemas dan pilu yang tadinya hilang seketika muncul kembali dengan sangat cepat. Rasa traumaku tiba-tiba saja kembali.

"Kamu kenapa nangis Fir?" tanya Kahfi heran.

Aku hanya terdiam. Tubuhku seketika bergetar kembali. Aku merasa sangat tak berdaya. Aku merasa bersalah dengan Javir. Tapi aku juga merasa bersalah dengan Kahfi.

Aku sangat bingung, aku panik, aku gelisah, semuanya seketika bercampur aduk di dalam dadaku. Rasa bercampur itu seketika mengembalikan trauma-ku.

Tubuhku benar-benar sangat bergetar. Aku saat itu mengalami anxiety attack yang berdampak cukup dahsyat. Memang itu terdengar simpel, namun kalian tak merasakan bagaimana suasana hatiku saat itu.

Air mataku benar-benar mengalir dengan sangat deras. Kahfi lalu memeluk tubuhku kembali. Pria itu mengelus-elus kepalaku.

"Astaghfirullah Safira.. tenang Safira, tenang..!!" ujar Kahfi lembut sembari memeluk tubuhku.

Entah mengapa aku benar-benar merasa sangat gelisah. Tubuhku semakin lama semakin bergetar dengan sangat kencang.

Pikiranku saat itu benar-benar sangat aneh. Pengelihatanku tiba-tiba berubah perlahan dengan samar-samar. Aku merasa seperti tidak nyata.

Yang ku lihat saat itu adalah kejadian di rooftop ketika Elif hendak melompat. Aku benar-benar melihat itu, aku bahkan tidak melihat Kahfi yang jelas-jelas berada di hadapanku.

KETIKA SAINGANKU ADALAH TUHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang