30

2K 304 1
                                    

Tok, tok, tok...
Aku mengetuk pintu rumah.

"Assalamualaikum" seru-ku mengucapkan salam sambil menahan tangis.

Sepanjang jalan pulang dari tempat bimbel tadi, aku benar-benar tidak bisa berhenti menangis. Aku sangat amat merasa bersalah dengan ibu karena gelang itu.

"Waalaikumussalam.." jawab Kahfi dari balik pintu rumah.

Aku sontak menundukkan kepala setelah menyadari bahwa Kahfi yang membukakan pintu. Aku tak ingin pria itu melihatku yang sedang menangis.

"Kenapa Fir..?" tanya Kahfi heran melihatku. Aku kemudian hanya terdiam sambil buru-buru berjalan menuju kamar.

"Fir!" panggil Kahfi kembali. Pria itu lalu menarik lenganku.

Aku kemudian berusaha melepas genggaman Kahfi itu. Namun aku tak bisa, pria itu benar-benar meggenggam tanganku dengan sangat kuat. Ia lalu menarikku duduk di sofa ruang tamu.

Aku tetap memilih untuk terus menundukkan kepala dan terus diam. Aku tak ingin terlalu dekat dengan adik sepupu-ku itu.

"Kenapa nangis Safira..?" tanya Kahfi sambil ikut menundukkan wajahnya hendak melihat wajahku.

Aku tetap saja terdiam, tidak menjawab pertanyaan pria itu sama sekali. Kahfi lalu mendekat kepadaku. Ia lalu tiba-tiba merangkul tubuhku dengan lembut.

"Fi? Kamu ngapain sih? Jangan macem-macem ya!" seruku kepada Kahfi sambil sedikit menangis.

"Tiara lagi tidur kok Fir.." jawab Kahfi dengan nada lembut. Aku lalu langsung menghempaskan tangan pria itu yang diletakkannya di pundakku.

"Terus kenapa kalo Tiara lagi tidur?" tanya-ku dengan nada bicara yang tinggi.

"Safira! Aku ini bukan cowok bejat! Aku juga bukan cowok yang murahan. Aku nggak mungkin mau apa-apain kamu. Aku disini cuman mau tenangin kamu, aku sedih liat kamu nangis Fir.." bantah Kahfi masih menggunakan nada lembut.

"Yaudah! Ngapain coba sambil pegang-pegang aku Fii..?" sahutku kesal sambil menangis.

"Safira.. Kahfi itu sayang sama Fira..." jawab pria itu sambil menatapku prihatin.

"Kahfi tolong ya Kahfi! Kita ini sepupu! Kita nggak mahram Kahfi!" sahutku membentak pria itu.

Pria itu kemudian langsung duduk menjauh dariku. Kahfi kemudian menundukkan kepalanya sambil memukul-mukul lengan tangan kirinya. Aku benar-benar heran melihat tingkah pria itu.

"Lo berdosa! Lo berdosa!" seru Kahfi sambil memukul-mukul lengan tangannya dengan sangat keras.

Kaki-ku yang baru saja hendak melangkah pergi meninggalkan pria itu seketika berhenti. Apa yang Kahfi lakukan barusan benar-benar membuatku sangat terkaget.

"Udah Fir..! Dia udah aku pukul! Dia berdosa!" seru Kahfi sambil menunjuk lengan kirinya.

Aku seketika tertunduk. Hatiku tiba-tiba saja terasa sangat luluh melihat apa yang Kahfi lakukan barusan. Tangisanku juga seketika berhenti entah mengapa.

"Nggak Safira! Dia itu adek sepupumu! Jangan aneh-aneh!" batinku dalam hati.

"Udah berenti nangis Fir?" tanya Kahfi sambil menatap kepadaku.

"Astagfirullah!!" ujarku terkaget. Aku yang tadinya tengah melamun menatap kosong kepada pria itu seketika tersadar.

"Fir, sekarang kita udah jauh kan?" lanjut Kahfi bertanya. Aku lalu menganggukkan kepala kepada pria itu.

"Yaudah.. kamu jangan sedih lagi ya! Demi Allah aku ikut sedih liat kamu sedih Fir.. Kalo nggak mau cerita sama aku juga nggak papa kok. Yang penting aku udah pastiin kalo kamu udah nggak nangis lagi" lanjut Kahfi kepadaku.

KETIKA SAINGANKU ADALAH TUHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang