34

1.7K 291 9
                                    

Aku memberontak kepada Javir. Berusaha dengan keras melepaskan pelukan pria itu. Sekujur tubuhku bergetar dengan sangat kencang. Napasku sangat terengah-engah. Tangisanku semakin menderas.

"Astaghfirullah Asya.. Kamu kenapa Asya? Kamu kenapa?" seru Javir mencoba menenangkanku. Pria itu menahan tubuhku dengan sangat kuat.

Aku semakin memberontak kepada Javir. Saat itu kondisiku benar-benar berada pada titik terendah. Aku seperti orang gila. Javir terus menahan tubuhku agar aku dapat terdiam.

"Astahfirullah Safira... Istighfar Safira! Istighfar!" lanjut Javir sembari menahan tubuhku. Ya! Pria itu baru saja memanggilku dengan nama "Safira".

Aku terus memberontak. Menangis sangat histeris tanpa mengeluarkan suara. Lama-kelamaan tubuhku menjadi lemas. Tubuhku seketika berhenti memberontak. Aku lalu menyandar kepada tubuh Javir yang menahanku dari belakang.

"Tenang Asya... Tenang.. Coba tenangin dirimu..." ujar Javir dengan nada lembut.

Pria itu kemudian mengelus pelan kepalaku yang tertutup dengan hijab. Ia lalu mengusap air mata yang telah membasahi wajahku.

"Istighfar Asya.. Coba tarik napas kamu, tenangin diri kamu..!" lanjut Javir sembari mengelus-elus kepalaku.

"A-astaghfirullah.. Astaghfirullahaladzim..." ucapku sambil terisak-isak dengan tangisan.

Javir lalu melepas tubuhku. Pria itu kemudian mengangkat tubuhku berdiri. Aku masih terus menangis saat itu.

"Asya..."
"Kamu sebenernya kenapa..?"
"Ada masalah apa sama kamu?"
"Kenapa kamu bisa sampe nangis kaya gini?"
tanya Javir dengan lemah lembut.

Aku menggeleng-geleng kepada pria itu. Aku masih merasa belum sanggup untuk berbicara kepada siapa-pun saat itu. Aku trauma. Aku hancur. Hatiku benar-benar sangat sakit.

Javir tiba-tiba memeluk tubuhku lagi. Pria itu lalu mengelus-elus kepalaku kembali.

"Ngga papa kalo kamu ngga mau cerita sekarang.. Tapi jangan sedih lagi ya Asya, aku kasian sama kamu..." seru pria itu.

Aku menelan ludah. Lalu buru-buru melepas pelukan pria itu. Aku kemudian berjalan tergesa-gesa meninggalkan Javir. Pria itu kemudian langsung dengan cepat mengejarku.

"Asya..!!" panggil Javir.
Aku hanya diam sambil terus berjalan.

"Elif gimana Asya?" tanya Javir. Lagi-lagi aku hanya terdiam, terus berjalan tanpa memedulikan pria itu.

"Asya! Jadinya kamu udah ketemu sama Elif belom?" tanya pria itu lagi sambil ikut berjalan disebelahku. Aku terus diam.

"Sya..." panggil Javir lagi dengan nada lembut.

"APA JAVIR? APA?" bentakku sebal sembari menghentikan langkah.

"Kamu tau gak Javir? Aku ini lagi hancur! Lagi hancur! Tolong jangan maksa aku kaya gini! Tinggalin aku sendirian! Please.." lanjutku kepada Javir dengan nada tinggi. Tangisanku masih terus mengalir.

Javir terdiam. Ia lalu menatapku dengan tatapan merasa bersalah. "Aku cuman sedih liat kamu nangis Asya. Aku nggak tega.." ujar pria itu sembari menundukkan kepalanya.

Tangisanku seketika semakin menderas menatap wajah Javir. Aku lalu membuka tas tenteng dari Elif tadi dan mengambil kertas berisi pesan yang Elif tuliskan itu.

"Nih! Kamu baca!" seruku sambil memberikan Javir surat dari Elif itu. Javir lalu mengambil surat itu dengan ragu-ragu.

"A-apa ini Asya?" tanya Javir bingung.

"Baca aja Vir, nanti kamu juga tau sendiri" jawabku sambil sedikit terisak. Javir kemudian langsung membaca surat itu di hadapanku.

"I-ini surat dari Elif?" tanya Javir usai membaca surat tersebut. Aku lalu mengangguk.

KETIKA SAINGANKU ADALAH TUHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang