49

1.4K 238 5
                                    

Zahra lalu berjalan menghampiriku. Gadis itu kemudian menepuk bahuku dari belakang. Ia lalu menarik napasnya sambil mengelus-elus dada. Gadis itu seolah-olah menyuruhku untuk bersabar.

"I-itu tadi Raisa ya?" tanyaku sedikit gugup.

"Bukan!" jawab Zahra sambil menggelengkan kepala.

"T-trus?" tanyaku kembali. Zahra kemudian mengangkat bahu-nya. Gadis itu menunjukkan bahwa dirinya juga tidak tahu.

"Udah, lu tenang aja.. bang Javir nggak mungkin ngecewain cewek yang dia cinta!" seru Zahra. Aku kemudian menelan ludah, lalu menganggukkan kepala perlahan.

"Cieee... Jadi lu emang beneran suka sama bang Javir ya?" ucap Zahra tiba-tiba.

"Menurut-mu?" tanyaku kecil sambil menaikan alis kiri.

"Menurut gue sih, lu suka sama bang Javir!" jawab Zahra sambil tersenyum menyebalkan.

"Ya udah..." sahutku malas.

"Ciee... uhuy, uhuy!!" goda Zahra.
"Asya, Asya... menurut gue lu beruntung sih kalo jadi istri-nya bang Javir..." lanjut gadis itu.

"Emangnya kenapa?" tanyaku curiga.

"Ya kaya apa ya? Kalian tu kaya cocok aja gitu. Lucu gitu dech pokonya!" jawab gadis itu. Aku lalu tersenyum masam membalas Zahra.

"Eh Saf, emang-nya bang Javir nggak pernah ngomong apa-apa gitu?" lanjut Zahra penasaran.

"Ngomong apaan?" balasku bingung.

"Soal kaya nikah atau apa gitu..? Soal lamaran?" jelas Zahra. Aku sontak terdiam. Pikiranku seketika teringat kembali dengan lamaran Javir 2 minggu yang lalu itu.

"Lah? Kenapa lu?" tanya Zahra heran melihatku terdiam.

"Hah? Nggak! Javir nggak pernah bahas soal itu sama aku.." jawabku sedikit terkaget.

"Oooh gitu? Tungguin aja deh Saf, palingan bentar lagi. Bang Javir nggak mungkin lama-lama sih.." sahut Zahra sambil tersenyum. Gadis itu kemudian berjalan meninggalkanku.

Aku lalu terdiam. Melamun sekejap sambil menatap kosong ke arah meja kasir.

"Kenapa ya? Kenapa Javir belum membahas soal itu lagi kepadaku? Apakah ia masih merasa bahwa aku belum siap?" gumamku dalam hati.

• • •

Dringgg...
Ponselku berbunyi. Jam menunjukkan pukul 13.00. Ada yang meneleponku saat itu.

Bola mataku membesar. Aku benar-benar terkaget saat itu. Sosok yang meneleponku itu ternyata adalah Kahfi. Mengapa pria itu meneleponku? Hatiku seketika terasa sangat tegang.

Aku menggerakkan tanganku pelahan. Lalu menerima telepon dari Kahfi itu dengan ragu-ragu.

Isi percakapan di dalam telepon tersebut :
_______________________________

Safira :
"Ha-halo..?"

Kahfi :
"Halo.."

"Iya kenapa Fi?"

"Nggak papa, pengen
nelpon aja?"

"Oooh.."

"Kamu sekarang lagi
di rumah ya?"

"Ooh nggak! Aku
lagi di luar.."

"Oooh di luar..."
"Aku kangen kamu Fir...."

KETIKA SAINGANKU ADALAH TUHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang