36

1.8K 295 5
                                    

Pukul 08.00 lewat.
Motor yang dikendarai Javir itu berhenti.

Kami telah sampai di depan sebuah rumah kecil bercat putih. Javir lalu menyuruhku untuk turun. Hujan masih turun sangat deras saat itu.

Javir dari tadi tidak mengenakan jas hujan atau apapun yang dapat melindungi tubuhnya dari air hujan. Sekujur tubuh pria itu benar-benar sangat basah kuyup.

Javir lalu mengajakku untuk duduk di kursi yang ada di teras rumah itu. Pria itu kemudian ikut duduk di kursi yang ada di sebelahku. Saat itu aku masih menangis. Hatiku benar-benar sangat sakit.

"Asya..." panggil Javir lembut. Aku menundukkan kepala. Hanya diam dan tetap menangis.

"Kamu yang sabar ya Asya... Kita jadi manusia harus kuat! Allah sayang sama hamba-nya yang sabar..." seru Javir menguatkanku. Aku masih terdiam.

"Kamu laper ya? Yaudah, ku ambilin makan ya?" tanya pria itu dengan lemah lembut. Javir kemudian beranjak masuk ke dalam rumah itu.

"Nih Sya!" ujar Javir baru saja kembali. Pria itu menyodorkanku sebuah piring berisi nasi dan 3 potong nugget.

Aku menalan ludah. Lalu ragu-ragu mengambil makanan yang diberikan oleh Javir itu. Pria itu lalu kembali duduk di kursi sebelahku. Aku kemudian mulai makan. Jujur perutku memang terasa sangat lapar saat itu.

"Maaf ya Sya! Cuman ada itu doang..." seru Javir kepadaku.

Aku sontak menggelengkan kepala. Aku benar-benar sangat tak keberatan dengan makanan yang diberikan oleh Javir itu. Justru aku merasa bahwa pria itu sudah baik sekali memberikan aku makanan.

"Oooh iya Sya. Ini rumah-ku. Rumah peninggalan almarhum ayah sama bundaku dulu. Kamu tau kan? Aku udah pernah ceritain sama kamu waktu kita ketemu di Batam dulu" ujar Javir. Suara pria itu menembus bisingnya suara desiran hujan malam itu.

Aku lalu menatap Javir prihatin. Kemudian menganggukkan kepala membalas pria itu. Seketika pikiranku teringat kembali dengan semua yang terjadi saat aku bertemu dengan Javir dulu.

Ternyata dunia memang benar-benar sempit. Mataku tiba-tiba saja mengalir kembali. Aku teringat dengan ayah dan almarhum ibuku. Aku teringat dengan gelang manik-manik pemberian ibu itu. Aku teringat dengan Elif.

"Kenapa nangis lagi Asya?" tanya Javir bingung. Aku lalu tersenyum tipis sembari menggeleng-gelengkan kepala.

Usai makan, Javir lalu mengambilkan-ku segelas air putih. Jujur sejujur jujur-nya.. aku benar-benar merasa sangat nyaman berada di dekat pria itu. Javir sungguh sangat perhatian denganku.

Aku terdiam menatap rintik air hujan. Hatiku saat itu benar-benar masih merasa sangat hancur. Suasana hatiku terasa sangat redup. Javir bagaikan sebuah cahaya yang menyinari kegelapan di dalam hatiku.

"Asya... Kamu mau aku anter pulang..?" tanya Javir tiba-tiba.

Aku sontak menggelengkan kepala. Aku masih sangat trauma. Aku saat itu masih takut untuk membuka lingkup perbincanganan lebih besar. Cukup Javir saja orang yang sanggup untuk ku ajak berbicara.

Aku belum merasa siap untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan diriku kepada orang-orang. Termasuk om Syahid dan kedua anaknya itu.

"Jadi gimana Asya..?" tanya Javir kembali. Aku menggelengkan kepala kembali.

"Yaudah... Kalo kamu mau, kamu tidur disini aja!" seru pria itu.

Aku seketika terkaget. Aku tak mungkin menginap di rumah pria itu. Javir bukanlah siapa-siapaku. Aku lalu buru-buru menggeleng menolak tawaran Javir itu.

"Jadi malem ini kamu mau tidur dimana?" tanya Javir lembut. Aku hanya terdiam.

"Hmm... bentar ya Sya!" lanjut Javir sembari menarik napasnya. Pria itu lalu beranjak masuk ke dalam rumah-nya.

KETIKA SAINGANKU ADALAH TUHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang