2

8K 904 9
                                    

Usai dari pemakaman ibu, aku kembali ke rumah dalam keadaan hati yang sangat hancur. Aku benar-benar merasa sangat putus asa hari itu.

Rumah sederhanaku terasa sangat sepi. Aku yang biasanya mendengar suara ibu memasak, menyapu, mengomel, mencuci, dan lain sebagainya, kini sudah tak lagi.

Rumahku benar-benar terasa sangat hampa. Sunyi, tanpa terdengar suara sedikit-pun. Malam itu aku hanya diam di kamar sambil terus menerus menangis. Aku benar-benar tidak menyangka akan ditinggalkan oleh ibu secepat ini.

Hatiku belum bisa mengikhlaskan kepergian ibu hari itu. Aku masih merasa sangat bersedih dan
sangat hancur.

Kini ibuku sudah dikuburkan di dalam tanah. Tidak ada yang bisa ku perbuat lagi selain mengikhlaskan kepergiannya.

Aesya Safira hari itu telah kehilangan separuh jiwanya. Gadis itu telah kehilangan ibunda yang paling ia cintai. Kini aku telah menjadi perempuan yang piatu.

Aku tetap ingin menjadi perempuan seperti sosok Aisyah. Hari itu aku benar-benar berusaha bersabar sekuat mungkin untuk mengikhlaskan kepergian ibu.

Dan itu benar-benar sangat menyakitkan.

• • •

Kau tahu? Aku itu tidak terlahir dari keluarga yang kaya atau-pun berkecukupan. Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, dengan penghasilan
orang tua yang bisa di bilang masih serba kurang.

Usiaku telah menginjak 18 tahun. Aku baru saja lulus SMA 2 bulan yang lalu pada bulan April. Ibu meninggal saat itu ketika bulan Juni, tak lama setelah hari raya idul fitri tahun 2018.

Rencananya, aku akan pergi ke Jakarta pada bulan depan. Yaitu pada bulan Juli. Aku akan pindah ke Jakarta untuk kuliah. Aku akan ikut dengan pamanku yang tinggal disana.

Setelah sepeninggalan ibu, harapan dan tujuan hidupku seketika hancur. Aku seperti kehilangan tujuan hidupku. Dan kehilangan keinginanku untuk kuliah di Jakarta..

Aku tak mudah untuk menghilangkan rasa sedih dan hancurku saat itu. Benar-benar sangat sakit ditinggalkan oleh ibu sendiri.

Rasa hancur yang ada di hatiku karena kepergian ibu itu juga ikut menghancurkan jiwa-jiwa lainnya. Aku benar-benar putus asa sampai tidak semangat untuk melanjutkan kehidupan ke depannya.

• • •

• Hari kedua sepeninggalan ibu •

"Safira.." panggil ayah sambil mengetok pintu kamarku.

Saat itu pukul 10.00 pagi, aku masih terus menangis di dalam kamar. Sudah 2 hari aku diam di kamar sambil terus menangis dan mengunci pintu.

"Safira.." panggil ayah kembali. Pria itu membujukku untuk membukakan pintu kamar.

Aku berusaha memaksa diriku. Ayah adalah orang tua-ku juga. Aku harus tetap menghormati dan berbakti kepadanya walau keadaanku sedang tidak baik-baik saja.

Aku kemudian menyerka air mataku, lalu beranjak dari kasur menuju pintu kamar. Tatapan ku kosong, perasaanku masih sangat labil saat itu.

Aku lalu membuka pintu kamar, menatap ayah yang sedang berdiri di balik pintu. Aku hanya diam sambil menunduk, berusaha menutupi kesedihan ku saat itu.

Ayah membawakanku sepiring makanan. Ia juga membawakanku segelas air putih dan sebuah buku. Ia lalu berjalan memasuki kamarku.

Ayah kemudian meletakkan piring, gelas, dan buku itu di atas sebuah meja kecil yang ada di sebelah kasurku. Ia kemudian duduk di kasurku sembari melonjorkan kakinya ke lantai. Pria itu menatap prihatin kepadaku yang duduk di sebelahnya.

"Yang sabar Safira, ibu udah tenang kok.." ujar Ayah mencoba menguatkanku.

Air mataku seketika menetes kembali. Aku merasa sedih kembali setelah mendengar perkataan ayah barusan. Hatiku benar-benar masih sangat rapuh untuk mengingat kepergian ibu.

"Kamu makan ya nak. Udah dua hari kamu nggak makan apa-apa." lanjut ayah membujukku untuk makan.

Aku tidak memedulikan perkataan ayah itu. Aku masih terus menangis sambil menutup wajahku dengan kedua tangan.

Ayah kemudian mendekatkan tangannya ke kepalaku. Ia kemudian mengelus rambut panjangku, mencoba untuk menenangkan diriku yang sedang sangat patah saat itu.

"Allah sayang sama ibumu Safira, makanya Allah cepet ngambil ibu. Kita nggak boleh sedih terus, nanti ibu juga ikutan sedih..." ujar Ayah sambil mengelus-elus rambutku.

Aku berusaha menghentikan tangisanku, namun sungguh tak bisa. Hatiku benar-benar sangat sakit. Aku benar-benar tidak ingin ditinggalkan oleh ibu.

Ayah tiba-tiba saja mengambil tanganku yang ku letakkan di wajah. Ia kemudian meletakkan sebuah buku yang ia bawa tadi di atas tanganku itu.

"Baca ini Safira, kamu harus belajar buat jadi perempuan yang kuat. Kamu harus bisa ngerti dengan arti dari kematian." ujar ayah sambil menutup tangan kananku dengan buku dan kedua telapak tangannya.

Ku lepas tangan kiriku yang masih menutup kedua mataku. Aku kemudian menatap buku yang ayah berikan kepadaku itu. Tertera judul pada buku yang ayah berikan itu bertulis "FATIMAH AZZAHRA & AISYAH HUMAIRA".

Aku kemudian mengusap air mataku, lalu menerima buku yang ayah berikan itu. Aku biasanya merasa sangat senang ketika diberikan buku. Namun berbeda dengan saat itu karena keadaan yang sedang tidak mendukung.

Ayah kemudian mengambil segelas air putih yang ia bawa. Ia kemudian memberikan gelas itu kepadaku.

Aku kemudian meminum air putih itu. Perasaanku seketika terasa sedikit membaik setelah meminum air putih itu. Air mataku perlahan-lahan mulai berhenti menetes.

Air putih yang ayah berikan itu membuat perasaanku terasa sedikit tenang. Ayah kemudian menatapku senang karena melihat aku sudah mulai berhenti menangis.

"Kamu makan ya, nanti kamu sakit. Kamu nggak boleh terus-terusan sedih kaya gini..." ujar ayah sambil menatapku penuh harapan.

"Makasih ayah!" jawabku sambil menunduk menatap lantai kamar.

"Iya, kamu baca ya bukunya. Itu bukunya bagus banget" jawab ayah kepadaku.

Aku menganggukkan kepalaku, kemudian tersenyum menatap ayah yang duduk di sebelahku itu. Hatiku saat itu seketika terasa sedikit tenang.

Ayah kemudian beranjak dari kasur, ia kemudian berjalan keluar dari kamar meninggalkanku.

Perutku saat itu benar-benar terasa sangat lapar. Sudah 2 hari aku diam di kamar sambil terus menerus menangis tanpa makan dan minum.

Aku kemudian menyantap makanan yang ayah berikan kepadaku itu, sepotong ayam goreng, nasi, dan sayur. Syukur makanan itu dapat membuat perutku terasa kenyang, hatiku juga merasa sedikit terobati karena itu.

Aku kemudian membaringkan tubuhku di ranjang. Lalu berusaha untuk tidur agar bisa menghilangkan rasa sedih. Aku juga tidak mau jika harus menangis terus menerus.

Terima kasih ayah. Kau adalah salah seorang manusia yang paling baik di dalam hidupku.

Aku sangat sayang dengan ayah...

KETIKA SAINGANKU ADALAH TUHAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang