61. Sia-sia

159 31 2
                                    

Seorang pria duduk menyendiri di dekat jeruji sel memakai baju oren yang di mana di belakangnya tertulis angka 219 itu tengah melamun sampai-sampai satu polisi datang pun cowok itu tak menyadarinya.

"Narapidana nomer 219 kunjungan dengan pengacara," sahut sang polisi kala jerujinya sudah terbuka.

"Narapidana nomer 219, kunjungan dengan pengacara!" ulang sang polisi seraya mengedarkan pandangannya.

Laki-laki berbadan bongsor yang duduknya tak jauh dari nama yang di panggil, sontak menggeplak pundak cowok itu.

"Di panggil," ucapnya seraya mengarahkan pandangan ke arah sang polisi, agar cowok itu tidak marah akan perilakunya.

Jefan mengangkat kepalanya dan benar saja seorang polisi itu kini menatapnya sedikit kesal, karena dirinya melamun.

Dari perjalanan menemui sang pengacara di ruangan khusus Jefan masih tetap bengong, seolah-olah bengong itu kini sudah menjadi sifat sekaligus ciri khasnya selama beberapa Minggu dirinya di kurung di balik jeruji atas tuduhan kasus pembunuhan, padahal dirinya sama sekali tidak melakukannya.

"Jefan," panggil sang pengacara.

Sontak Jefan terkejut. Cowok itu mengedarkan pandangannya, ternyata dirinya sudah berada di ruangan bersama pengacara yang selama ini selalu memaksanya.

Melihat Jefan sudah berdiri di depannya, sang pengacara yang tak lain bernama Reza itu memilih membuka suara. "Jadi, bisa jelaskan kronologis kejadian kemaren-kemaren?"

Diam, dan bengong. Itulah jawaban sekaligus respon dirinya atas pertanyaan yang sudah sering dia dengar.

"Plis, Jef. Saya sudah bolak-balik dari kantor polisi ke kantor saya selama 10 kali pertemuan, masa kamu enggak pernah jelasin kronologis nya?!!"

Orang yang kini tengah di ajak berbicara malah asik memainkan kukunya.

"Saya ini pengacara kamu, tugas saya membela kamu, Jefan. Kamu harus percaya kalau saya bisa bebasin kamu dari sini. Jadi ... Tolong jelasin."

Masih dengan pergerakan yang sama Jefan kini menggertakkan mulutnya, sambil menerawang jauh.

Napak Reza yang mengambil napas gusar. Cowok itu berdiri dengan emosi yang memuncak sampai-sampai kursi yang di dudukinya jatuh akibat emosi Reza yang tak keluar.

Dengan mata yang mengilat marah, urat-urat yang tercetak jelas di lehernya, serta rambut yang acak-acakan karena frustasi melihat Jefan yang masih memilih bungkam Reza langsung menggebrak meja kuat-kuat sampai Jefan menatapnya.

"Saya tanya sama kamu." Pengacara itu mengambil napas dalam-dalam. "Emang kamu siap terkurung di tempat yang sebenernya bukan tempat kamu selama 20 tahun?!! Emang kamu kuat? Sanggup? Hm?!

"Kamu enggak mikirin gimana perasaan keluarga kamu? Pacar kamu? Sahabat kamu? Terus emang kamu enggak mau lanjutin sekolah gitu?!!!"

Dengan hembusan napas yang panjang akhirnya setelah beberapa menit dirinya melamun Jefan memilih berdiri, menatap sinis sang pengacara.

"Udah ngebacotnya?" tanya Jefan. "Kalau udah gue balik."

Kala Jefan membuka pintu hendak kembali ke penjara bersama seorang polisi yang berjaga di sekitaran ruangan tersebut, seruan dari Reza membuat Jefan termenung.

Termenung sekaligus membuat dirinya berpikir apakah dirinya memberontak atau hanya diam sambil menerima apa yang terjadi padanya saat ini.

Jujur Jefan marah, kesal, stres, tapi di sisi lain juga dirinya syok karena lagi dan lagi seseorang yang Jefan sayangi dan cintai akhirnya selalu begini. Selalu tersiksa. Sampai-sampai Jefan menganggap bahwa dirinya sendiri adalah anak pembawa sial.

A Lies || EunkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang