Asya si Gadis kecil

11 7 11
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.

________________________________________________
___________

Untuk kesekian kali, aku kembali menjatuhkan air mata
#Sri Rahayu

Kembali Kara menatap makanannya tidak nafsu. Kini kantin sangat ramai tapi ia merasa sunyi. Ia mengambil buku diary yang berada di dalam tasnya kemudian menuliskan sebuah puisi. Bait puisi yang ia tuliskan setiap baris buku itu mengandung perasaan yang sangat dalam.

Kini langit sangat cerah, mentari yang terbit telah berhasil memancarkan teriknya di penghujung kota ini.

Kamu tahu? Aku tak lagi sendiri.
Aku tak lagi merasa di kucilkan, aku ... berada di tengah beberapa orang, puluhan, ratusan, bahkan ribuan.

Namun, aku masih merasa sepi.
Aku tak lagi dapat melihat senyuman mu saat aku membuka mata. Saat kokokan ayam menyambut sang fajar di pagi hari. Aku tak lagi dapat mendengar lirih suaramu.

Aku lemah, aku letih, aku layu
Aku merindukan dekapanmu saat ini
Walaupun aku tahu Tuhan telah mengambilmu dari diriku. Aku hanya bisa mengenangmu dalam kenangan yang tak mungkin terulang. Memori saat bersamamu masih abadi dalam hati ini.

Aku harap suatu saat nanti aku bisa melihat senyumanmu. Mendekap mu dalam segala kehangatan. Aku ... merindukanmu.

Kara fov

Nata apa kabar denganmu? Mengapa saat Anggasta menghilang kamu juga ikut menjauhiku. Apa salah yang aku perbuat? Sampai-sampai Tuhan mengambil kembali apa yang ku punya. Sakit yang dulu tidak lagi aku rasakan. Tapi, mengapa? Mengapa sakit yang sama terulang kembali.

Tuhan jika aku salah, ampuni aku. Ampuni segala apa yang aku perbuat. Kini dan seterusnya aku mulai sadar, bahwa milik kita apapun yang kita punya sekarang ataupun nanti itu akan kembali ke asalnya. Tidak ada yang kekal di dunia ini.

Bel berbunyi untuk kesekian kalinya, tapi Kara tak kunjung bangkit dari tempat ia duduk sekarang. Sahabatnya telah berusaha memanggil Kara agar ke kelas, namun ia tak mempedulikan pelajaran yang telah ia lewatkan. Hatinya saat ini hancur, ia benar-benar tidak mood. Bahkan ia merasa tulangnya remuk. Ia pun tak sanggup memijakkan kakinya. Ia tak sanggup untuk bertumpu. Air matanya kembali luruh. Tetes demi tetes membasahi buku diary kecil itu.

Ibu kantin yang melihat Kara tak minat untuk bangun dari kursinya mencoba menegur Kara. Ia khawatir jika Kara sakit karena pada jam itu semua pulpen siswa lain tengah menari di atas meja. Tak ada sahutan dari sang empuh ibu-ibu kantin tadi kembali melanjutkan pekerjaannya.

***

Kara berjalan kaki dipinggiran trotoar. Bukan sekedar berjalan, kali ini ia lagi-lagi melamun. Dalam lamunannya ia merasa angin menerpa rambutnya yang ia gurai membuat anak rambut Kara menutupi sebagian wajahnya. Ia kembali terduduk di jalan yang sama, dengan perasaan yang sama. Seperti ada tangan yang membelai lembut rambutnya. Kara mendongakkan kepala dan menatap kesegala arah. Hanya ada mobil dan motor yang tersusun rapi membentuk segerombolan yang sangat indah.

"Anggasta," lirihnya.

Namun, kenangan hanya tinggal kenangan. Semua sirna begitu saja. Ia tidak boleh seperti ini terus. Ia harus bangkit. Bangkit bukan berarti melupakan, tapi bangkit untuk melanjutkan kehidupan tanpa mereka. Mengenang segala kenangan sepanjang hidup.
Kara memberhentikan angkot yang tengah lewat. Di dalam angkot tidak terlalu banyak penumpangnya hanya ada dua wanita dewasa, satu anak kecil perempuan dan supirnya sendiri. Kara duduk di antara anak kecil dan wanita paruh baya itu.

Angkotpun bergerak mengikuti jalan yang telah di aspal itu. Tangan anak kecil itu memegang tangan Kara. Kara yang sedari tadi melamun tersentak kaget.

"Kakak punya luka batin? Kakak sedang kehilangan seseorang? Luka kakak sepertinya sangat dalam."

Kara tercengang mendengar penuturan anak kecil itu. Lucu pikirnya. Bagaimana bisa anak seusia dirinya tiba-tiba memegang tangan orang yang tidak dikenalnya dan menanyakan hal yang mungkin untuk seusianya hanya memikirkan mainan seperti masak-masak, ataupun barby.
Kara tersenyum ke arah gadis kecil itu dan menggeleng cepat.

"Dia memang seperti itu. Saat di usia beberapa bulan dia bahkan sudah mengetahui hal-hal gaib atau aneh dari orang-orang. Dia akan menangis jika dia tidak suka atau dia melihat ada yang tidak beres," ungkap ibunya.

"Ta ... pi bagaimana mungkin anak ibu sekarang usianya masih sangat balita. Bahkan anak-anak seusianya belum fasih dalam hal seperti itu," hal yang sedari tadi mengganggu pikirannya kini ia lontarkan juga.

"Awalnya saya sendiri tidak percaya kalau anak saya bisa melihat ataupun merasakan kehadiran makhluk gaib. Saya juga tidak menyangka kalau anak saya bisa merasakan kekhawatiran orang, penderitaan dan masalah yang orang lain tengah hadapi."

"Saya sempat ke orang pintar dan beberapa para normal agar menghentikan itu atau menghilangkannya dari dalam diri anak saya. Saya takut jika akan ada masalah kalau tidak dihentikan dari sekarang. Tapi katanya kemampuan yang dimiliki anak saya tidak dapat di hentikan atau dilenyapkan."

Kara fov

Aku menatap anak kecil itu tanpa berkedip. Aku merasakan tenang dekat dengannya. Kemudian aku membayangkan saat aku seusia dia. Saat sekecil itu, aku masih asik bermain boneka. Awalnya aku tidak percaya jika ia mampu melihat makhluk tak kasat mata dan bisa membaca perasaan orang yang ada di dekatnya. Tapi, saat dia pertama kali menatapku dia sudah bisa mengungkapkan apa yang tengah aku alamin dan rasakan saat ini. Apa setelah kehilangan Anggasta, dia yang akan datang untuk menyembuhkan sakit ini? Ah aku tidak ingin berharap ataupun memanfatkan kebaikan orang lain.

"Kakak akan bertemu dengan orang yang sama lagi. Kakak jangan sedih," ucapnya terakhir kali sebelum aku turun dari angkot itu. Aku pun memeluk dan mencium pipi mungilnya itu dan menyodorkan kepadanya jepit rambut yang baru aku beli kemarin. Ia pun dengan senang hati meraihnya dan menyuruh ibunya untuk memasangkan ke surai rambutnya. Anak kecil itu pun memberikan sebatang coklat silverqueen kepadaku.

"Ini untuk kakak. Kalau kakak sedih ingatlah hal yang menyenangkan. Dan jangan lupa makan cokelat itu ya kak."

"Hati-hati ya nak, makasih jepit rambutnya sepertinya Asya sangat suka," ungkap ibunya lagi. Ya Asya nama gadis kecil itu.

"Aku duluan ya bu, Asya."
Aku kembali melihat ke arah angkot yang kemudian melaju di depanku. Aku layangkan senyum paling manis yang aku punya ke arahnya yang masih setia menatapku. Sampai akhirnya angkot itu tak lagi dapat terlihat di penglihatanku.
Hmm ku lirik cokelat yang ada di genggaman tanganku. Aku sangat menyukainya. Saat turun dari angkot, aku tak langsung menuju rumah. Aku memutuskan untuk melangkahkan kaki ku menuju taman dekat rumah. Aku mengeluarkan hendphone dan membuka bungkusan cokelat itu lalu memasukannya ke mulut ku. Sangat manis, dari kecil aku sangat suka makanan manis.

TBC
####

STORY KARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang