Lucu

35 26 109
                                    

.
.
.
.
.
.

_________________________________________________

Kara menggeliat, ia merogoh ponselnya dan ternyata sudah pagi. Kara melihat Anggasta sang pawang masih terlelap di sofa. Kara tak tega membangunkannya, Kara tahu Anggasta butuh istirahat. Kara beranjak ke dalam kamar mandi. Butuh waktu lama untuk seorang Kara menyelesaikan ritual mandinya.

Kara keluar dari kamar mandi melihat Anggasta sudah duduk di sofa menatap kearahnya.

"Udah bangun? Kok gak bangunin aku?."

"Aku lihat kamu tidur pulas banget jadi gak tega buat bangunin. Btw udah lama bangunnya?"

"Lumayan. Lama banget mandinya. Pakai air berapa bak?"

"Seratus bak. Emang kamu, mandi cuma setengah badan," jawabnya nyolot.

"Kamu pernah liat aku mandi? Gak kan. Atau jangan-jangan kamu ngintip ya kalau aku mandi?"

"Ih paansih ogah banget aku intipin kamu. Aku masih punya urat malu ya. Udah jangan bikin aku emosi pagi-pagi."

"kamu mandi gih. Udah sana keluar ih!"
Anggasta masih setia duduk di sofa, dan mengambil bantal lalu dipeluknya.

"Anggasta keluar! keluar, aku mau ganti baju ih," Kara menarik Anggasta dan mendorong tubuh kekar milik cowok itu agar keluar dari kamarnya dan buru-buru mengunci pintu rapat-rapat.

Setelah selesai berdandan, Kara menghampiri Anggasta yang sedang memberi Muchi makan. (Muchi adalah seekor kucing jantan yang dipelihara dirumah Kara).

" Kamu mau kemana? Gak sekolah?"

"Gak, hari ini aku izin. Lagian disekolah juga gak ada Aurora aku bosen."

"Terus sekarang kamu mau kemana?"

"Udah temenin aku ya, ayo Anggasta temenin. Kalau gak, nanti malam tidur di luar gak usah tidur didalam rumah."

"Oke-oke, tuan putri."

Akhirnya Anggasta menuruti kemauan Kara. Mereka pergi dengan menaiki sepeda. Kara sangat menikmati angin sepoi-sepoi. Sedangkan Anggasta nampak memasang wajah masam karena harus mengayuh sepeda dengan jarak cukup jauh. Disepanjang jalan, Kara menyanyi dengan sangat fasih dan suaranya yang merdu membuat Anggasta ikut merasa tenang.

"Anggastaaa stooppp!!"

"Astaga Kara, kamu bisa kan gak usah teriak-teriak telinga aku sakit."

"Maaf, aku mau turun disini. Kamu tunggu disini aja ya! Jangan kemana-mana awas lo kalau aku ditinggal."

"Iya tuan putri saya akan menuruti apapun perintah tuan putri."

"Hahaha."

Kara meletakan bunga dan air disebuah batu nisan yang bertulis Bram dan Mentari. Kara terlihat membacakan do'a dan membersihkan daun-daun yang sudah mengering diatas kedua nisan itu.

"Ibu ... ayah. Ini Kara, Kara datang untuk jenguk kalian. Maaf Kara jarang kesini. Kara mau cerita bu, yah. Kara sekarang tidak merasa sendiri lagi karena sudah ada Aurora dan Anggasta yang baik sama Kara, yang selalu ada untuk Kara. Kara janji sama ibu dan ayah kalau Kara bisa capai cita-cita Kara dan Kara akan selalu jadi anak baik. Sesuai janji Kara, Kara akan mengambil kembali hak kita yang sudah direbut paksa oleh paman. Kara akan sering kesini jenguk kalian. Kara hanya berharap semoga kalian tenang dialam sana. Kara sayang kalian. Kara pamit ya ayah, ibu."

Kara beranjak pergi dengan berderai air mata sebelumnya ia menciumi kedua nisan orang tuanya.

Dari jauh, Anggasta diam-diam mengintai Kara. Saat Kara pergi Anggasta berjalan ke arah nisan kedua orang tuanya. Anggasta berjongkok, lalu mengangkat kedua tangannya untuk berdo'a. Lalu mengusap nisan itu.

STORY KARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang