"Kau masih hidup?!"
Ansel menjauhkan ponselnya dari telinga, saat sambungan telepon dari Bastian ia terima. Pria itu setengah mengomel karena begitu sulit menghubungi dirinya.
"Iya." Ansel menjawab tidak yakin, pertanyaan itu mengingatkannya pada insiden minum jamu datang bulan beberapa jam yang lalu. "Aku masih hidup." Setidaknya dia memang beruntung belum mati saat ini.
"Apa yang terjadi?"
Ansel tidak bisa berkata bahwa tidak terjadi apa-apa pada dirinya, karena nyatanya meminum jamu yang tidak akan ia coba lagi seumur hidupnya itu, akan menjadi catatan buruk dalam sejarah. "Aku bertemu dengan putri bungsu Tuan Justin yang ternyata lebih menyebalkan dari yang aku pikirkan sebelumnya," ucap pria itu dalam sekali tarikan napas. Lalu terengah seolah semua pasokan oksigen mendadak habis dari paru-parunya. "Aku harus apa?"
"Hanya menghadapi seorang wanita saja kau tidak bisa."
Ucapan Bastian terdengar mencemooh di balik sambungan telepon, nyaris saja Ansel berniat mematikannya. "Dia gadis yang‐," sejenak dia berpikir, mencari kata yang pas untuk menggambarkan seorang Lasena Maura. "Sedikit liar," imbuhnya.
Ansel menceritakan apa yang gadis itu lakukan pada dirinya di hari pertama bekerja.
Bastian terdengar berdecak, seolah apa yang dia sampaikan bukan masalah yang berarti bagi dirinya. Dan mendapati hal itu adalah fakta membuat Ansel benar-benar merasa payah sebagai seorang pria.
"Ini bahkan pertemuan kalian untuk yang pertama, terkadang kesan pertama pada seseorang memang tidak selalu bagus."
"Jika kesan pertama saja sudah buruk, bagaimana nanti?" Ansel bahkan khawatir gadis itu akan mengacaukan rencananya, atau bahkan hidupnya.
"Jadi kau berharap masa depan di rumah besar rival ayahmu?"
"Tentu saja, aku juga berharap menjadi bagian keluarganya dan mendapat harta warisan yang setara, dengan kedua putra kembarnya itu. Apa kau puas?"
Kalimat sarkas yang terlalu panjang dan berapi-api itu membuat tawa Bastian membahana di seberang telepon, yang kembali ia jauhkan dari telinga.
"Perkataan adalah do'a, Sel." Bastian kembali terkekeh saat Ansel memilih tidak menanggapinya. "Ayolah, kau berada di situ tidak untuk bekerja, memangnya ingin bertahan berapa lama?"
"Tentu saja secepat yang aku bisa." Ansel menceritakan tentang rencana nanti malam pada pria itu, lalu menyuruhnya untuk bersiap menjeput keesokan harinya pagi-pagi buta.
Setelah mengakhiri sambungan telepon dengan Bastian, Ansel menoleh sekeliling. Lalu bingung harus melakukan apa. Tugasnya adalah mengikuti putri bungsu pemilik rumah ini, yang ternyata sedang dihukum tidak boleh ke mana-mana.
Memutuskan untuk kembali menyambangi ruang kerja Tuan Justin tentu bukan ide yang berguna, mengingat banyak pasang mata yang bisa saja melihat tindakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...