48

3K 617 118
                                    

"Tadi kamu ngobrolin apa sama papi?" Sena bertanya saat mereka sudah berada di dalam mobil.

Ansel meminta izin pada Justin untuk mengajak Sena menengok ibunya.

"Kamu maunya aku ngobrolin apa?"

"Ih. Mana aku tau." Sena merajuk saat Ansel terlihat enggan untuk betcerita padahal biasanya pria itu selalu terbuka.

Ansel sedikit tertawa. Setelah menghentikan kendaraannya saat lampu berubah merah, pria itu mengangkat tangan untuk membelai pipi halus kekasihnya. "Cantik banget kamu."

Sena bersemu tentu saja, namun hal itu ia tutupi dengan sedikit terawa. "Gombal, basi banget," cibirnya.

"Serius." Ansel tidak terima saat dirinya dituding hanya menggombal oleh gadis itu. Sena memang benar-benar terlihat cantik di matanya. Gadis itu memang selalu cantik, meski hanya dengan kaus putih pendek dan rok span selutut, berwarna biru polos yang dikenakannya.

"Aku cantik doang tapi nggak di apa-apain."

Tanggapan itu membuat Ansel tertawa. "Emangnya mau diapain?"

"Dicium gitu. Penasaran Mas pacar udah pinter apa belum sih."

Ansel tidak bisa untuk tidak tertawa. "Pinter gimana, aku jarang latihan."

"Mau dong diajak latihan."

Ansel tahu Sena bercanda, tapi tetap saja hal itu membuatnya berbunga-bunga. Daripada menanggapi kegilaan Sena, dia lebih fokus ke jalan raya saat lampu lalu lintas sudah berubah warna.

"Kalian bahas masalah keluarga kamu yah?" Setelah hening beberapa saat, Sena kemudian bertanya. Ansel memang paling tidak bisa mencari bahan obrolan saat mereka tengah berdua.

Ansel mengangguk. "Kata papi kamu, papaku pasti nggak akan tinggal diam. Aku disuruh bilang kalo ada apa-apa."

"Papiku mau bantu, kan?"

"Iya. Dia bahkan sempet ngenalin aku ke kuasa hukumnya. Yang selalu siap bantu kalo terjadi apa-apa."

"Bener kan. Kamu nggak sendirian, Mas pacar. Kamu pasti bisa, Tante Anna juga pasti sembuh." Sena meyakinkan pria itu dengan mengusap lengannya.

"Makasih ya, Sayang."

Panggilan itu membuat Sena tertegun. "Eh, apa tadi?"

"Apanya?"

"Yang tadi."

"Makasih."

"Panggilannyaaa." Sena mengguncang lengan kekasihnya gemas, meminta pria itu untuk mengulang kata sayang.

"Aku lagi nyetir, Sena."

"Nyebelin ah." Sena menghadapkan tubuhnya ke depan, bersamaan dengan itu Ansel membelokkan kendaraan ke sebuah rumah sakit khusus kejiwaan tempat sang mama dirawat di sana.

"Jangan marah, Sayang." Ansel tersenyum lembut saat mengucapkan kalimat itu.

"Aku deg-degan." Sena reflek menyentuh dadanya sendiri, pipinya yang bersemu merah membuat Ansel jadi tertawa. Sena banyak mendapat ucapan sayang dari para lelaki yang mendekatinya, tapi entah kenapa sapaan Sayang dari pria itu terdengar sangat berbeda. "Coba sekali lagi."

"Sena, Sayang." Ansel memainkan rambut kepala Sena yang terasa halus di tangannya. Pria itu mendekat, mencium ujung surai pirang itu dengan hidungnya. "Wangi banget, kamu pake shampo apa sih?" godanya.

"Kamu nggak mau nebak aku pake pasta gigi apa juga?"

"Emang boleh."

Sena meraih kedua pipi kekasihnya. "Boleeeh," ucapnya, tanpa ragu menyatukan bibir mereka.

Ansel reflek memundurkan kepala. "Eh, gimana kemaren, aku lupa."

"Iih."

***

"Tante, Tante cepet sembuh yaa." Sena mengusap punggung tangan Anna kemudian menciumnya. Tidak disangka, wanita itu mengusap puncak kepalanya. "Tante udah kenal sama aku yah?"

Ansel tersenyum melihat sang mama sudah banyak kemajuan. Wanita itu sudah bisa merespon saat mereka berbicara, meski belum mau bersuara tapi mamanya sudah bisa diajak berkomunikasi dan tersenyum, saat ansel bercerita tentang kedekatan mereka.

Dokter yang merawat sang mama ikut senang karena pasiennya sudah banyak kemajuan. Ansel hampir setiap hari menjenguknya dan kata sang dokter, wanita itu adalah salahsatu pasiennya yang paling cepat mengalami kemajuan.

.

"Nggak sampe malem lagi?" Sena bertanya saat mereka memutuskan untuk pulang.

"Aku nggak enak kalo terlalu malam." Ansel membelokkan kendaraan yang ia bawa menuju tempat tinggal keluarga Sena.

Selepas mampir ke sebuah restoran untuk makan, Ansel mengajaknya pulang meski Sena masih ingin jalan-jalan. Pria itu beralasan harus berangkat bekerja lebih pagi keesokan harinya.

"Beberapa hari ke depan aku kayaknya bakal sibuk." Ansel meminta pengertian Sena jika seandainya nanti dia akan jarang menghubunginya.

"Di kantor papi lagi sibuk yah?"

Ansel menggeleng. "Bukan di kantor papi kamu. Tapi di kantor papaku."

"Kamu kerja di kantor papa kamu?"

Ansel meraih tangan sena, mengusapkan ibu jari ke bagian punggungnya. "Kata papi kamu, aku harus mempelajari perusahaanku sendiri, karena bagaimanapun juga nanti aku bakal masuk di sana. Jangan sampai mereka menertawakan aku jika nanti aku nggak bisa apa-apa."

"Kamu pasti bisa kok."

"Kamu yakin?"

"Yakin, Mas pacar. Kamu pasti bisa, percaya deh." Sena tersenyum saat pria itu mendekatkan tangannya ke bibir kemudian menciumnya. "Mau mampir nggak?"

"Ngapain?"

"Bantuin aku mencet bel."

Ansel sedikit tertawa, kemudian hening. Perlahan pria itu memiringkan wajahnya dan membidik bibir Sena dengan bibirnya, lalu memberikan kecupan ringan di sana. Hanya sebatas itu saja dan membuat Sena gemas karenanya.

Sena beranjak dari duduknya, beralih duduk di pangkuan Ansel dan membuat pria itu terkejut tentu saja.

"Sen-," ucapan Ansel terputus saat perempuan itu berhasil melu-mat bibirnya.

***
Lanjut??

Enggak deng besok lagi wkwkwk. Masih ada beberapa bab ke tamat.

Author: Aku positif gess
Netizen: Hamil thor
Author: Kagaaa
Netizen: positip kopid
Author: amit amit nggak juga
Netizen: Apanya yang positip
Author: Positip nggak punya duit
Netizen: bodo amat 😒😒














Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang