Ansel ikut membuka sabuk pengaman di tubuhnya saat mereka sudah berada di halaman rumah Sena.
"Kamu mau apa?" Sena bertanya.
"Aku mau nganterin kamu sampe ke depan pintu." Ansel merasa hal itu perlu, setelah meminta izin untuk membawa gadis itu pergi. Dia pun ingin bertemu dengan orangtua Sena dan memastikan bahwa dia mengembalikannya dengan sempurna.
"Nggak perlu lah." Sena melirik jam di pergelangan tangannya saat mengucapkan kalimat itu. "Udah malem juga," imbuhnya.
"Om Justin udah tidur?"
"Nggak tau juga sih."
"Kamu bawa kunci sendiri."
"Nggak, nanti aku pencet bel kok. Terus pasti ada yang bukain tenang aja." Sena tampak berusaha meyakinkan agar Ansel tidak perlu mengantarnya.
"Kalo gitu ayo turun." Ansel membuka pintu mobil, bersiap keluar dari benda itu.
"Ngapain?" Sena bertanya lagi.
"Bantuin kamu mencet bel."
"Eh?"
.
Beberapa saat menunggu di depan pintu, seseorang lalu membukanya. Dan ternyata Justin.
Sena sedikit canggung saat menyalami papinya sendiri, karena baru kali ini dia pulang diantarkan oleh seorang lelaki. Biasanya mereka akan meninggalkannya setelah masuk ke pintu gerbang, termasuk Sandi.
"Maaf saya sudah menganggu istirahat Om Justin." Ansel sedikit membungkukkan tubuhnya saat mengutarakan kalimat itu.
Sekilas Justin mengulas senyum. "Tidak apa, masih sore juga. Kami belum tidur."
Sena adalah orang yang paling tidak percaya saat pria paruh baya itu mengatakannya. Pukul sebelas malam mungkin bagi sebagian orang masih sore. Tapi batas malam sang papi adalah jam sembilan, lewat dari itu dia akan mendapat hukuman.
"Jika tidak keberatan, ada yang ingin saya bicarakan, Om. Tapi kalaupun harus besok saja tidak masalah. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu pada Om Justin."
Pertanyaan itu membuat Justin sedikit berpikir. Tidak berselang lama, dia pun kemudian mengangguk. "Butuh kopi?"
"Tidak perlu, Om. Hanya sebentar saja. Di sini juga tidak masalah." Ansel menunjuk kursi yang berada di sebelahnya.
"Ooh, ok." Justin setuju, sebelum melangkah menuju bangku dia lalu menoleh pada Sena yang diam saja.
Ansel pun tampak melakukan hal yang sama. Sena yang menyadari akan hal itu memandang keduanya secara bergantian, lalu mengerti apa yang harus ia lakukan. "Oke iya. Aku masuk dulu," ucap Sena, saat merasa keberadaannya tidak lagi di butuhkan oleh mereka.
.
Saat sudah berada di dalam rumah, Sena mengintip lewat tirai yang menutupi jendela. Kedua pria berbeda usia di luar sana tampak serius membahas sesuatu, yang dia tidak tahu apa.
Mungkin masalah pekerjaan yang memang tidak bisa ditunda, tapi dia justru teringat dengan ucapan Ansel yang ingin meminta izin untuk lebih serius pada dirinya.
Tidak begitu lama, Sena dapat menangkap suara mesin mobil Ansel yang kemudian menjauh dari halaman rumah. Dia lalu sengaja menunggu sang papi membuka pintu dan menyadari keberadaannya.
"Kenapa kamu belum masuk ke kamar?" Justin mengerutkan dahi melihat anak gadisnya.
Sena mendekat, merangkulkan kedua tangannya pada lengan sang papi dan bergelayut di sana. "Tadi papi ngobrolin apa?" tanyanya manja.
Sang papi mungkin tahu apa yang akan Sena tanya, dia pun hanya tersenyum saja. "Nggak ngobrolin apa-apa," ucapnya.
"Piiii." Sena merajuk, semakin memberatkan beban tubuhnya pada lengan pria paruh baya itu. "Bilang dooong, nggak boleh pelit sama anaknya."
"Orang nggak ngomongin apa-apa, kok."
Sena berdecak sebal, masih mengikuti langkah pria itu menuju kamarnya.
"Sana pergi ke kamar," usir Justin dengan sedikit tertawa. "Papi mau lanjutin tidur," ucapnya.
"Katanya tadi belum tidur." Sena melepaskan rangkulannya dari lengan sang ayah, ketika sudah sampai di depan pintu kamar orangtuanya. "Papi beneran nggak mau cerita, ngobrolin apa sama Ansel?" desaknya.
Justin menatap putrinya dengan mengangkat alis. "Penasaran banget sih kamu."
"Ngomongin apa?" todong Sena lagi.
"Dia tanya tentang keluarganya."
"Nggak ngomongin aku?"
"Dih, geer banget. Anak siapa si."
Sena berdecak sebal. "Ah, nggak seru. Nggak ngomongin aku," keluh gadis itu.
Justin memasukkan kedua tangannya pada saku celana. "Papi mau tanya sama kamu," ucapnya.
"Tanya apa?"
"Kamu ada hubungan apa sama Askara?"
"Ya menurut pengamatan papi gimana?" Sena malah balik bertanya.
"Kalian dekat."
"Ehem."
"Seperti pengawal dan nona muda yang harus dijaga."
***
Lanjut...
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...