"Jadi, sebenarnya Bagaskara itu nama kakek kamu?" Sena bertanya setelah sekilas membaca buku di pangkuannya.
Ansel yang duduk di bangku panjang bersebelahan dengan gadis itu pun mengangguk. "Mama adalah putri tunggal dari Andi Bagaskara, satu-satunya pewaris sah dari seluruh kekayaan kaķek yang dipegang oleh papa."
Sena mengerti, betapa kini Ansel terlihat begitu hancur sekali. Dari buku bertuliskan nama pria itu yang ditulis tangan oleh Tante Anna pada sampulnya, dia tahu Ansel adalah satu-satunya keturunan Bagaskara.
Di dalam buku itu, Tante Anna menceritakan awal pertemuannya dengan Om Dwitama. Wanita itu percaya, Dwitama dapat meneruskan usaha ayahnya yang menderita sakit keras.
Pihak keluarga sang ayah yang berlaku curang dengan ingin memiliki semua harta mereka, membuat Tante Anna memutuskan menikah dengan Dwitama yang dia pikir bìsa menjaga amanah ayahnya.
Di buku itu juga, Tante Anna menceritakan bagaimana dia tahu bahwa dirinya telah ditipu. Dwitama sudah beristri dan memiliki dua anak dengan wanita lain sebelum menikahinya.
Ansel mengulurkan tangannya dan mengusap airmata yang mengalir di pipi Sena, membuat gadis itu menoleh.
"Kenapa?" Sena bertanya.
"Kamu nangis."
Sena reflek menyentuh pipinya sendiri. Bahkan dia tidak sadar telah meneteskan airmata, semua yang dituliskan Tante Anna di dalam buku hariannya itu benar-benar menguras emosinya.
"Kok Bisa ada orang sèjahat Om Dwitama sih?" Sena begitu geram saat menanyakan tentang hal itu.
"Mungkin Tuntutan dari Tante Sarah."
Sena menggeleng tidak percaya. Kini dia mengerti kenapa Tante Anna sampai depresi seperti ini. Wanita itu sudah bersikap sabar dengan menerima kenyataan bahwa suaminya sudah berìstri, dia juga mau menerima keluarga yang suaminya bawa.
Catatan terakhir pada buku itu, Tante Anna berkata ingin berpisah dengan Om Dwitama. Dia meminta maaf pada putranya yang masih membutuhkan sosok papa, karena tidak bisa mempertahankan kelùarganya.
Sena menutup buku yang selesai ia baca. Sebenarnya masih ingin tahu banyak tentang kehidupan Tante Anna. Tapi wanita itu berhenti menuliskannya. "Tapi di sini, mama kamu bilang mau pisah sama papa kamu," tanyanya dengan menoleh pada Ansel yang duduk di sebelahnya. Dia lalu menyebutkan tanggal dan tahun saat tulìsan itu dibuat, "berarti waktu itu kamu umur berapa?"
Ansel berpikir sejenak. "Sepertinya smp, aku sekolah di rumah. Pas sma baru sekolah umum, tapi cuma setahun. Mama sudah sering melamun sendiri, menyendiri di kamar."
Sena mengerti, mungkin mulai saat itu Tante Anna mengalami depresi. Dia lalu menoleh saat Ansel terlihat menunduk, dengan menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.
"Sekarang apa yang mau kamu lakuin?" Sena bertanya khawatir, Ansel terlihat tidak baik-baik saja, setelah menceritakan masalahnya dengan sang papa semalam.
"Aku nggak tau." Ansel menjawab pelan. "Aku nggak tau harus gimana, aku nggak punya siapa-siapa. Aku butuh mama," keluhnya.
Sena meraih tangan Ansel, menjauhkan dari wajahnya yang dia tutupi. Kedua matanya yang sayu terlihat memerah. "Kamu nggak sendirian, kok. Ada aku, abang kembar, ada papi juga."
Ansel masih diam, pria itu mengarahkan tatapannya ke tempat lain, menahan airmatanya untuk tidak terjatuh.
"Waktu malam itu kamu ngajak papi ngobrol, kalian ngobrolin apa?" Dengan hati-hati Sena bertanya, sedikit memiringkan kepala memperhatikan raut wajah Ansel di sebelahnya.
"Papi kamu nggak cerita?"
"Dia cuma bilang kamu tanya tentang keluargamu." Sena merasa menyesal tidak bertanya lebih jauh tentang apa yang mereka bicarakan malam itu. "Kamu tanya apa?"
"Aku tidak tau harus bercerita pada siapa setelah membaca buku mama. Dan pada papi kamu, aku tanya tentang kakek." Ansel bercerita apakah Justin pernah tahu tentang Andi Bagaskara, pendiri Bagaskara grup sebelum kepemimpinan papanya.
Sena mengangguk mengerti. "Jadi karena itu papi begadang sampe pagi," gumamnya.
"Oyah?" Ansel bertanya tidak percaya.
Sena tersenyum. "Kamu nggak usah takut sendirian lagi," ucapnya dengan mengusap punggung Ansel untuk menghibur pria itu. "Papi pasti bantuin kamu."
"Woy! Gantian gue cape." Teriakan Kairan membuat Sena dan Ansel sontak menoleh.
Di hari minggu pagi ini, mereka memang tengah berkumpul di belakang rumah Sena untuk berolahraga. Ada abang kembar Jino Nino yang memegang raket, bermain bulutangkis dengan Kairan dan Arka sebagai lawannya.
"Kai! Siyalan gue ditinggal!" Arka mengomel saat Kairan keluar dari lapangan, dia jadi sendirian melawan sepupu kembarnya.
"Gue capek!" Kairan berlari ke arah Sena yang duduk di bangku panjang dengan kekasihnya yang baru beberapa menit datang. Sedangkan mereka sudah bermain bulutangkis hampir satu jam.
"Woy kenapa lo?" Sena bertanya dengan tertawa saat Kairan berlagak tersungkur di hadapannya.
"Lemes bestie, belum disuruh makan sama ayang!"
"Ahahaha!" Sena tertawa, beranjak berdiri dan menarik lengan Kairan untuk membantunya bangun. "Kaya punya ayang aja lo."
"Punya gua. Ayang mami Kanjeng Ribet."
"Emak lo itu mah."
"Yaudah ganti dah." Kairan diam saja saat Sena menarik lengannya. "Lemes bestie, ganteng doang nggak punya ayang."
Ansel ikut tertawa melihat interaksi keduanya. Sena terlihat melepaskan tangan Kairan dan pura-pura menendang tubuhnya.
"Eh. Bantuin gue bangun, Bego."
"Males ah. Berat banget lo!" Sena kembali duduk di sebelah Ansel.
Kairan berdiri, mengambil raket di tangannya dan memberikannya pada Ansel. "Gantiin gue dong, capek nih."
Sesaat Ansel terdiam, lalu menerima raket dan menoleh pada Sena.
"Sana ikutan, udah ditungguin tuh." Sena menyikut lengan Ansel. Pria itu pun beranjak berdiri dan bergabung dengan saudaranya.
***
Lanjut
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...