55

3K 583 33
                                    

Hari ini Sena tidak masuk kuliah karena demam, semalam papinya menyuruh sang mami untuk tidur di kamarnya.

Menjelang sore dan merasa sudah enakan, Sena duduk di sebelah kakak iparnya yang tengah memotong buah di meja bar.

"Kamu udah baikan?" Nara, istri Jino yang memang tinggal di rumah itu bertanya.

Sena mengangguk, kemudian tersenyum untuk menjawab pertanyaan kakak iparnya.

"Nih buat kamu, makan." Nara memisahkan potongan apel di piring kecil, kemudian melangkah pergi setelah mengusap pundak Sena.

Ditinggal sendiri Sena melamun, duduk menopang dagu di meja bar dengan mengunyah potongan buah dari sang kakak.

Perasaan selalu ingin mandi seperti kemarin, membuat Sena teringat pada kejadian naas beberapa tahun yang lalu.

Dia pernah bersikap seperti itu, bahkan sampai pindah kamar dan tidak mau masuk lagi ke ruangan yang sama. Sena tahu, papi adalah orang yang paling sakit hati karena kejadian buruk yang menimpanya.

Pria itu bahkan menyarankan untuk pindah rumah jika dia mau, tapi Sena merasa tidak perlu melakukan itu.

Sena ingin membuktikan bahwa kejadian itu bukanlah masalah besar bagi dirinya. Dia tidak ingin melihat sang papi merasa terpuruk.

Demi membuktikan bahwa dia baik-baik saja dan tidak mengalami trauma, Sena menjadi remaja yang sulit dikendalikan dan butuh perhatian lebih dari mereka.

Perempuan itu menjadikan dirinya liar dan bebas memilih pergaulannya. Berteman dengan banyak pria seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia ingin sang papa tidak mengkhawatirkan kondisinya.

Namun, perasaan trauma itu ternyata masih ada, Sena tidak membiarkan siapapun menyentuh hatinya.

Hingga kemudian Ansel datang dan menjadi satu-satunya orang yang tidak diperbolehkan pergi dari dirinya. Sena ingin bersikap biasa saja seperti pada teman prianya yang lain, tapi Ansel terlalu berbeda dari kebanyakan pria yang dikenalnya. Dia menyukainya.

Suara bel di rumah besar itu tidak membuat lamunan seorang Lasena Maura lantas terganggu.

"Ada tamu, Sena." Sang abang yang menggendong putra kecilnya itu menegur. Menyuruh adiknya untuk membuka pintu.

"Males ih." Sena melirikkan matanya sinis, semakin menempelkan tubuhnya pada tepian meja.

Jino berdecak sebal. "Yaudah, lo bawa anak gue ke belakang nih. Mandiin." Jino mengangsurkan putranya ke hadapan perempuan itu, membuat bocah itu tertawa.

Mau tidak mau Sena tentu memilih membuka pintu dibandingkan harus memandikan keponakannya. Dengan malas dia pun menyeret kakinya menuju pintu depan rumah mereka.

Pertama kali yang dapat Sena lihat dari seseorang yang bertamu ke rumahnya adalah boneka beruang besar yang tersenyum kepadanya.

Dari balik tubuh berbulu itu, menyembul wajah tampan seorang pria yang tidak ia duga kehadirannya.

"Hay." Ansel tersenyum lebar.

Namun Sena masih diam, tidak percaya dengan seseorang yang berdiri di hadapannya.

"Mas pacar rindu Lasena singa Maura." Ansel menurunkan boneka di pelukannya, lalu terkejut saat melihat perempuan di hadapannya itu menangis. "Sena?"

"Ngapain kamu ke sini?"

Hening.

Ansel kembali mengangkat boneka di tangannya. "Seharusnya malam itu aku ngejar kamu, buat nganterin boneka yang ketinggalan."

"Cuma itu?" Sena bertanya sinis.

"Dan melupakan apa yang kamu katakan sebelumnya."

Sena tertegun, mencerna maksud kalimat pria itu yang sulit ia artikan sebagai hal baik. "Nggak bisa, Sel. Itu emang kenyataannya."

"Dan aku nggak peduli dengan kenyataan itu."

Sena tertegun, bukan karena kalimat yang dikatakan oleh pria itu. Tapi seseorang yang baru saja keluar dari mobil dan dibantu oleh susternya.

"Tante Anna?"

.

Kedatangan Ansel dan ibunya di rumah itu tentu saja disambut baik oleh Justin dan keluarganya.

Kini Sena berada di dapur, membantu sang mami membuatkan minuman hangat untuk mereka yang tengah mengobrol di ruang keluarga. Perempuan itu lalu membawanya ke sana.

Papi juga Bang Jino memuji kemajuan Bagaskara grup selama kepemimpinan pria itu.

Ansel tersenyum. Dia lalu berkata bahwa kemajuan Bagaskara disebabkan juga oleh mereka yang memang sudah resmi bekerja sama.

Setelah membahas tentang perusahaan sebagai bentuk basa-basi, mama Ansel mengutarakan niatnya berkunjung ke rumah ini, untuk melamar putri mereka.

Semua pasang mata di ruang keluarga itu mengarah pada Sena yang duduk di sebelah ibunya. Perempuan itu salah tingkah.

"Kenapa ngeliatin aku gitu?" Sena bertanya lirih, masih ragu dengan keseriusan kekasihnya.

"Sayang." Nena menyentuh jemarii putrinya lembut. "Mama Askara ke sini, mau ngelamar kamu buat Aska, kamu setuju nggak?"

Sesaat Sena diam, melirik Ansel yang terlihat menunggu. Kemudian mengangguk dan tersenyum pada Tante Anna.

"Aku mau."

Lanjut....

Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang