35

2.8K 585 57
                                    

Hari minggu pagi, Sena yang tidak ada kegiatan memilih melanjutkan tidurnya sampai menjelang siang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari minggu pagi, Sena yang tidak ada kegiatan memilih melanjutkan tidurnya sampai menjelang siang.

Rasa haus dan lapar yang mengganggu istirahatnya membuat gadis itu turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Sena menggigit apel yang ia ambil dari dalam kulkas, menuang air minum ke dalam gelas kemudian menghabiskannya.

"Heh! Pake baju lah." Suara seseorang yang entah datang dari arah mana menegur Sena, yang hanya mengenakan celana pendek dan tanktop saja, pakaian yang ia kenakan semalam.

Sena tidak terkejut. Dia kenal pemilik suara itu adalah Bang Nino, kakak pertamanya itu memang selalu berkunjung di hari minggu.

"Kak Yara di mana? Tumben bikin kopi sendiri?" Sena bertanya sembari memperhatikan pria itu yang mèngeluarkan gula dan kopi hitam dari dalam lemari.

"Di taman belakang sama si kembar. Kamu bantuin bikin kopi nih, buat tamu."

"Emang ada tamu?"

"Bikinin yang manis, kan tamunya spesial."

"Dih, siapa." Sena kembali menggigit apel di tangannya. Tidak peduli dengan perintah sang kakak, lalu menoleh saat kehadiran dua orang memasuki ruangan dapurnya.

Satu detik pertama Sena sadar tamu yang dimaksud sang kakak adalah Ansel. Pada detik ke dua dia memperhatikan penampilannya sendiri dan dengan cepat menyilangkan kedua lengannya di depan dada. "Bang Nino!" pekiknya.

Ansel yang juga tampak terkejut hanya mematung di tempatnya, sesaat entah kenapa dia jadi lupa cara mengedipkan mata, hingga kemudian telapak tangan seseorang menutupi pandangannya.

"Nggak usah minum dulu deh, langsung ke ruangan papi aja." Jino mendorong tubuh Ansel untuk berbalik, lalu menjauhi dapur dan pelototan adiknya.

Nino tertawa, menoleh pada Sena yang bersembunyi di balik punggungnya. "Kan aku udah bilang, pake baju. Ada tamu."

Sena nyaris berhasil memukul kepala sang kakak, jika saja pria itu tidak sigap  menghindarinya. "Kenapa nggak bilang si, tamunya Ansel?"

"Nggak sempet." Nino kembali menakar bubuk kopi dengan sendok kecil dan ia masukkan ke dalam cangkir, "ini bener segini kan ya? Kurang nggak?" tanyanya.

Sena yang masih syok dengan kemunculan Ansel di antara mereka lalu melengos. Gadis itu merapikan rambut dengan jarinya yang pasti berantakan karena bangun tidur. Bisa-bisanya Ansel melihat keadaannya yang seperti ini, Ya Tuhan.

"Gulanya berapa sendok sih?" Nino masih bermasalah dengan racikan kopi di hadapannya.

"Bodo amat, terserah!" Sena setengah berlari menuju kamarnya, tentu saja setelah mengintai keadaan rumah dan memastikan tidak ada seorangpun yang akan dilewatinya.

Di dalam kamar, Sena masih menyesali pertemuannya dengan sang pujaan hati di dapur tadi. Gadis itu mendekati cermin dan memperhatikan penampilannya.

Tidak terlalu buruk memang, wajahnya masih terlihat cantik meski tanpa polesan make up. Tapi tetap saja, ini adalah penampilan terburuk saat dia bertemu dengan seorang pria yang menjadi gebetannya.

.

Di ruangan berbeda, Ansel sudah menghadap Justin yang kemudian menyuruhnya untuk duduk di seberang meja. Jino yang mengantarkannya sudah pergi dari sana.

"Untuk proyek pertamamu bekerja di kantor saya, ini terlalu berat. Kamu yakin?" Justin menutup map di hadapannya, lalu fokus pada Ansel yang duduk menyimak dirinya berbicara.

Ansel mengangguk. "Saya sering mempelajari tentang struktur pembangunan apartemen. Semoga ide yang akan saya tuangkan nantinya bisa diterima."

Justin tampak diam, setelah merasa yakin pria itu akan mampu memenangkannya, dia pun mengangguk. "Kamu tau siapa saingan kita untuk memperebutkan proyek itu?"

"Yang pasti perusahaan hebat yang tidak bisa kita remehkan."

"Iyah. Memang benar. Dan salahsatunya adalah perusahaan papamu sendiri."

Mendengar pernyataan itu Ansel tertegun, sekilas raut wajahnya meragu. Dan Justin dapat menyadari itu.

"Kamu bisa mundur dan memilih proyek lain jika mau, saya tidak akan memaksa seseorang tetap bertahan jika tidak merasa nyaman dengan pekerjaannya."

Dengan lekat, Justin menatap Ansel yang tampak sedikit gundah, namun pria di hadapannya itu menggeleng.

"Saya akan tetap mengambil proyek itu. Ada atau tidak ada keluarga saya di dalam persaingannya."

Diam-diam Justin tersenyum, Ansel yang lebih fokus menatap permukaan meja tentu tidak dapat menyadarinya. Pemuda itu selalu menundukkan pandangan saat berhadapan dengan dirinya.

***
Lanjut







Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang