40

2.9K 580 59
                                    

Setelah pria itu membahas tentang mahar, yang membuat pipinya bersemu merah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah pria itu membahas tentang mahar, yang membuat pipinya bersemu merah. Kini Ansel juga meminta Sena untuk menjadi istrinya.

Sena bahkan tidak bisa menebak pria itu tengah serius atau bercanda. Dia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.

Ada dua ayunan kosong di tempat itu, Sena lalu menduduki salah satunya. Ansel sendiri tengah membeli dua es krim cone yang kemudian dia bawa dan memberikan satu pada Sena.

"Siapa?" Sena bertanya saat melihat Ansel menerima panggilan telepon, ketika tengah membeli es krim. Entah kenapa dia jadi selalu ingin tahu dengan apa saja yang dilakukan pria itu.

"Bastian."

"Siapa Bastian?"

Ansel ikut menduduki ayunan kosong di sebelah Sena saat menjawab pertanyaaan kekasihnya. Dia lalu bercerita tentang Bastian yang adalah teman smanya.

"Kamu punya temen?" Sena terlihat begitu takjub.

Ansel tertawa. "Punya lah," ucapnya. "Satu," imbuh pria itu.

"Ya ampun." Sena ikut tertawa pelan, membuka bungkus eskrim yang ia genggam.

"Bastian ternyata lumayan dekat dari sini, dia berkata ingin menemui aku. Nggak apa-apa, kan?"

"Ya nggak apa-apa laah."

"Tapi aku nggak suka sih sebenernya."

"Kenapa?" Sena menoleh, dia dapat melihat sorot cemburu dari raut wajah pria itu. "Emang Bastian ganteng ya?" godanya.

"Nggak lebih ganteng dari aku sih."

"Ya ampun, Mas pacar cemburu."

Bukan merajuk Ansel malah tertawa. Lalu mulai menikmati es krim di tangannya.

"Kenapa?" Ansel bertanya saat melihat Sena tidak terlalu suka dengan makanannya.

Sena menggeleng. "Aku kurang suka coklat," ucapnya.

"Maaf, Sena. Tadi aku lupa tanya kamu suka rasa apa."

Sena menoleh pada es krim di tangan Ansel yang baru sedikit dimakannya. "Aku suka vanila. Ini buat aku aja."

"Aku beliin yang baru, itu bekas aku." Ansel memberi penawaran saat Sena menukar makanan miliknya.

"Nggak apa-apa, ini aja." Tanpa merasa jijik, gadis itu memakan eskrim vanila di tangannya.

Ansel sedikit tertawa. Ikut memakan es krim rasa coklat yang belum sempat disentuh oleh Sena. "Biasanya perempuan suka coklat."

"Nggak semua, aku nggak terlalu suka. Kok kamu bisa tau perempuan suka coklat." Penasaran, Sena balik bertanya.

"Baca-baca di internet."

"Baca-baca tentang apa yang disukai perempuan?"

"Iya. Aku ingin tau apa yang kamu suka."

Sena mengerutkan dahinya. "Kenapa nggak langsung nanya aku aja, sama kaya kamu yang berbeda dari pria lainnya. Mungkin aku juga sama."

"Emang aku beda ya?"

"Nggak ngaca ih."

Ansel tertawa. Ketika tengah asik mengobrol dengan Sena, Bastian menghubunginya dan berkata sudah sampai di taman tempat Ansel berada.

Ansel menoleh ke arah pintu masuk taman, melambaikan tangan saat melihat Bastian berjalan menghampirinya.

"Itu Bastian?" Sena bertanya.

"Iya. Dia Bastian, dia satu-satunya orang yang dekat sama aku."

"Mencurigakan nggak sih hubungan kalian?"

Bukannya tersinggung dengan tuduhan gadis itu, Ansel justru tertawa. "Emang kenapa kalo hubungan kita spesial?"

"Ya aku bingung aja saingannya gimana." Dengan jujur Sena menjawabnya, "aku pasti nggak punya apa yang bisa dia kasih buat kamu."

"Dia juga nggak punya apa yang bisa kamu kasih buat aku."

"Oyah?" Sena berpura-pura merasa tersanjung.

"Hmm. Bibir misalnya."

"Kamu belum pernah ciuman sama dia?"

"Senaaa." Ansel merajuk saat gadis itu terus menggodanya. "Hubungan aku dan Bastian tidak seperti itu."

Sena yang puas meledek pria itu hanya tertawa. Bastian semakin dekat, dia lalu ikut berdiri saat Ansel menyambutnya.

"Hay, Sena." Setelah melakukan tos pertemanan ala mereka, Bastian menyapa Sena dengan mengangkat telapak tangannya.

Ansel menyikut lengan sahabatnya. "Kau belum kenalan."

"Aku mengenalnya darimu."

Perdebatan kedua pria di hadapannya membuat Sena sedikit tertawa, dia lalu mengangguk. "Iyah," ucapnya.

"Perkenalkan, aku Bastian." Pria yang mengaku bernama Bastian mengulurkan tangan.

Baru saja Sena mengangkat tangannya untuk menyambut perkenalan dari Bastian, dengan sengaja Ansel menempelkan ujung eskrim ke telapak tangan gadis itu.

Sena menoleh pada Ansel yang tersenyum kepadanya, sedangkan Bastian sudah berdecak sebal dengan menarik kembali uluran tangannya.

"Pelit Banget, salaman aja nggak boleh." Bastian mengomel pada sahabatnya.

Sena hanya tertawa, membiarkan saja saat Ansel membersihkan tangannya dengan tisu yang ia bawa.

"Kamu duduk lagi aja aku mau ngobrol bentar sama Bastian." Ansel memberi perintah. Sena pun menurut saat kedua pria itu beranjak menjauhinya.

Sempat mencoba fokus pada es krim di tangannya, Sena justru lebih tertarik memperhatikan interaksi antara Ansel dan sahabatnya itu. Mereka terlihat serius, hingga kemudian Bastian mengambil ponselnya dan Ansel menyodorkan benda yang sama. Entahlah mereka tengah berbagi apa.

Beberapa saat berlalu, keduanya kembali menghampiri Sena. Ansel tampak menerima telepon, pada Sena dia berkata harus menemui dokter yang menangani sang mama.

"Aku perlu ikut nggak?" Sena bertanya saat Ansel meminta izin untuk pergi sebentar.

"Nggak usah, sebentar kok. Kamu di sini aja sama Bastian," ucap Ansel, kemudian menoleh pada Bastian dan menyuruh pria itu untuk menemani sebentar kekasihnya.

"Kau yakin menitipkannya padaku!" Bastian berseru menggoda, saat Ansel mulai melangkah pergi dari sana.

Tidak ada tanggapan yang berarti dari Ansel, selain ancaman yang ditujukan pada Bastian. Pria itu pun hanya tertawa.

"Boleh aku duduk di sini?" Bastian meminta izin untuk menduduki ayunan di sebelah Sena. Yang kemudian mendapat anggukan dari gadis itu.

Sena tentu merasa tidak enak jika tidak mengajak Bastian berbicara, gadis itu lalu bertanya, "Kamu temen sekolah Ansel?"

Bastian yang semula fokus pada ponsel di tangannya lalu menoleh. "Bukan," ucapnya.

***
Lanjut..



















Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang