54

2.8K 589 39
                                    

Justin sudah bersiap akan tidur, saat dering ponsel yang ia letakan di atas meja membuat ia kembali terjaga.

"Siapa, Mas?" Nena, istrinya yang sudah bergelung di balik selimut, ikut penasaran dengan siapa yang memhubungi suaminya tengah malam.

"Kairan." Justin pun terlihat bingung saat membaca nama kontak yang menyala-nyala. "Iya, Kai?" dia lalu menjawabnya.

"Kenapa, Mas?" Nena terlihat penasaran saat suaminya mengerutkan dahi. Pria itu tidak menjawab sampai sambungan telepon mereka diakhiri.

"Kamu tidur duluan aja, aku mau periksa Sena." Justin menurunkan kakinya dan memasang sendal rumahan untuk beranjak berdiri.

"Sena kenapa?"

"Enggak, aku mau liat aja." Justin meminta istrinya untuk beristirahat lebih dulu.

Dia akan cepat kembali setelah memastikan putrinya baik-baik saja.

Kairan menghubunginya dan mengabarkan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sena. Dan dia khawatir takut terjadi apa-apa.

"Sena? Kamu sudah tidur?" Justin mengetuk pintu ber cat biru, yang tergantung nama Lasena Maura di sebuah papan kecil berukiran bunga. Saat tidak mendapat jawaban dari dalam, dia lalu membukanya.

Pintu itu tidak dikunci, saat Justin melangkah masuk tidak ada putrinya di atas ranjang. Suara gemericik air membuat dia menduga bahwa anak itu berada di dalamnya.

Sembari menunggu Sena keluar dari kamar mandi, Justin memperhatikan ruangan pribadi putrinya yang begitu rapi.

Belum sempat mengambil foto Ansel yang terletak di atas meja, pintu di belakang punggungnya terdengar membuka.

"Papi? Ngapain di sini?" Sena keluar dengan sudah mengenakan celana training dan kaus putih kebesaran. Rambutnya masih basah.

"Sena, kenapa kamu mandi tengah malem kaya gini. Nanti kamu sakit." Justin mendekat, meraih handuk di tangan putrinya dan membantu menggosok rambut pirang bungsunya itu.

"Kotor, Pi. Makanya aku mandi."

Justin tertegun. Sena pernah bersikap seperti ini beberapa tahun yang lalu. Dan dia tidak ingin lagi mengenang masa itu. "Ayo duduk, biar papi bantu keringkan rambut kamu."

Sena duduk di bangku yang terletak di depan kaca rias, sang papi mengambil hairdryer di atas meja dan membantu mengeringkan rambutnya.

"Sudah selesai, sekarang kamu tidur." Justin meletakan benda di tangannya ke atas meja, membimbing putrinya ke arah ranjang dan mendudukkan di sana.

Sena kembali beranjak berdiri. "Sekali lagi deh, Pi. Aku masih mau mandi."

"Sena." Justin melihat sosok putrinya kembali ke beberapa tahun lalu, saat anak itu baru mengenakan seragam putih biru. Kejadian itu membuat putrinya merasa kotor setiap waktu. "Kamu udah bersih, Sayang. Nggak perlu mandi lagi."

"Tapi, Pi-,"

"Sena." Justin memeluk putrinya sayang, merasakan betapa dingin tubuh anak itu, entah sudah berapa kali dia membersihkan dirinya sepanjang hari ini. "Ada apa dengan kamu, Sayang? Ada apa." Justin melepaskan pelukannya, menatap wajah pucat Sena yang terlihat tidak baik-baik saja.

"Aku cuma mau mandi, Pi. Sebentar aja kok."

Justin menggeleng tegas. "Kamu ada masalah apa, Sayang. Bilang sama papi," bujuk pria itu lagi.

Sena mendudukkan dirinya di tepi ranjang, raut wajahnya terlihat kebingungan. "Aku udah jujur sama Ansel, Pi. Aku udah jujur," gumamnya.

Justin mengerti. Lalu ikut duduk di sebelah putrinya, membawa tubuh ringkih Sena ke dalam pelukannya. Membiarkan bungsunya itu menumpahkan keluhkesahnya.

"Ansel pasti jijik banget kan, Pi. Ansel pasti jijik banget sama aku."

"Nggak, Sayang."

"Tapi dia ninggalin aku, Pi." Sena tersedu, menangis di dada ayahnya. "Annsel kecewa s,sama aku," imbuhnya susah payah.

Justin mengusap rambut kepala putrinya dengan sayang. "Jika memang seperti itu, papi janji akan carikan Ansel yang lain buat kamu, yang bisa terima kamu."

Dengan kuat Sena menggeleng. "Enggak Pi. A,aku nggak mau...."

"Sena...." Justin memejamkan mata, mengeratkan pelukannya pada tubuh ringkih Sena yang bergetar. Dia masih belum bisa terima kejadian buruk seperti itu menimpa putrinya.

Beberapa tahun lalu, Justin mendapati putrinya menjerit ketakutan di kamarnya sendiri, saat pengawal yang ia percayakan menjaga anak itu justru begitu tega menghancurkan mental dan masadepanya.

Sebagai seorang ayah yang melihat putrinya dilecehkan didepan mata kepalanya sendiri, Justin begitu hancur. Dia tidak bisa memaafkan perbuatan keji itu meski si pelaku telah ia habisi dengan tangannya sendiri.

Beberapa hari setelah kejadian itu Justin begitu sulit memaafkan dirinya sendiri, berandai-andai sesuatu yang mungkin tidak harus terjadi. Seandainya dia tidak ceroboh, seandainya dia tidak meninggalkan putrinya. Dan andai-andai lainnya yang tidak berguna, juga tidak bisa mengembalikan gadis itu seutuhnya.

Justin adalah orang yang paling hancur setelah kejadian itu, hingga Sena yang ternyata jauh lebih kuat dari yang ia kira, meyakinkan dirinya bahwa dia baik-baik saja.

Tapi saat ini putrinya benar-benar terlihat rapuh.

Sesuatu yang Justin takutkan sepanjang hidupnya kini telah terjadi.

Sena tidak bisa nemilih keinginannya sendiri.

Lanjut...

Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang