Menjelang malam, Sena mengobrol dengan Ansel lewat telepon video. Tentu saja gadis itu yang menghubunginya lebih dulu, Sena merasa dengan pria yang entah bagaimana ceritanya kini sudah menjadi pacarnya itu, dia merasa benar-benar menjatuhkan harga dirinya.
Beruntung kali ini dia bisa menggunakan dalih ingin mengabarkan pada pemuda itu, bahwa sore tadi dia sudah ke rumah sakit tempat dokter teman papinya berjaga. Berhubung masih sibuk, Sena meninggalkan obat-obatan di sana untuk diperiksa.
"Lo nggak rindu apa gimana gitu sama gue, ngabarin aja nggak pernah, nelepon juga gue duluan. Apa-apaan, lo suka sama gue apa nggak sih sebenernya?" Sena lama-lama sewot juga, menjalin hubungan dengan pria yang tidak peka semelelahkan ini ternyata.
Di layar ponselnya itu, wajah tampan Ansel tampak memenuhi layar, terlalu penuh hingga rasanya hanya terlihat bibir, hidung dan matanya saja. Pemuda itu tersenyum menanggapi omelannya.
"Mundurin dikit hapenya mundurin," titah Sena, dengan menggerak-gerakan telapak tangannya agar Ansel menjauh dari kamera. "Munduran dikit gantengnya kelewatan."
"Apah?"
"Muka lo kelebaran. Munduran."
"Seperti ini?" Ansel sedikit menjauh dari kamera yang dipegangnya, kali ini sedikit menampakan bagian leher juga dada.
"Iya gitu emang lo nggak pernah video call apah?"
"Belum pernah. Eh beberapa kali si, jarang."
"Astaga!" Pekik Sena tidak percaya, lo punya hape buat apaa!" Imbuhnya.
Ansel tampak berpikir. "Menghubungi seseorang?"
"Iya, tau-tau." Sena memutar bolamatanya jengah. "Itu lo padahal bisa 'menghubungi seseorang' tapi kenapa nggak pernah telepon gue coba?" todongnya.
"Saya tidak tahu nomor kamu sudah tersimpan."
"Ya Allah Astaghfirullah." Sena menekan keningnya dengan telapak tangan, berguling di atas kasur dengan masih mempertahankan raut wajahnya tetap di layar. "Beneran harus dijadwalin nih berantem sama lo, seminggu tiga kali deh. Cape gue."
Bukan merasa bersalah Ansel malah tertawa. "Saya benar-benar tidak tahu nomor kamu sudah tersimpan."
"Kan waktu gue minjem hape lo itu gue bilang nyimpen nomor."
"Lupa," jawab Ansel tanpa dosa, senyum merekah masih bertahan di bibirnya.
"Lo nggak coba nyari? Ada nggak gitu dalam benak lo pengen hubungin gue."
"Hm?" Ansel tampak berpikir. "Nggak," imbuhnya dengan spontan tertawa.
"Aduuuuh." Sena mengerang panjang, mengusap raut wajah frustrasinya dengan telapak tangan. "Pen gue putusin tapi baru jadian, gimana doong," gumamnya pelan.
Ansel juga tidak mengerti kenapa dia tidak berpikir untuk menghubungi gadis itu. Mungkin karena terlalu fokus pada sang mama membuatnya sibuk pada wanita itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...