Setelah dibuat tersipu dengan kalimat yang dilontarkan pria itu di dalam mobil. Kini Sena berubah bingung ketika Ansel menghentikan kendaraannya di parkiran gedung apartemen.
"Gue pikir lo mau bawa ke mansion Bagaskara." Sena berkomentar saat mereka sudah keluar dari mobil.
"Seinget aku, album foto dan barang-barang mama banyak tersimpan di sini." Ansel mengulurkan tangan, menggenggam jemari Sena dan mengajaknya untuk masuk.
Ansel mungkin saja mengira hal itu adalah biasa dan memang sudah harus dilakukannya. Tapi bagi Sena sendiri, tindakan kecil itu mampu membuat hatinya menghangat.
"Ini apartemen lo?" Sena melepas sepatu yang dia kenakan dan menaruh di tempatnya. Gadis itu melangkahkan kakinya semakin masuk ke dalam ruangan.
"Apartemen mama. Saat aku kecil, kami pernah tinggal di sini." Ansel mengambil sendal rumahan dan menyuruh gadis itu untuk mengenakannya
"Kenapa?" tanya Sena.
Ansel mengangkat bahu saat menjawab, "Entah. Mungkin mama menghindar dari papa waktu itu."
"Maksudnya kenapa kalian nggak tinggal di sini lagi?" Sena meralat pertanyaannya.
"Papa tidak memperbolehkannya."
Sena tampak mengangguk, memperhatikan ruang tamu dengan hiasan di dalam lemari kaca yang terlihat mewah. Sama sekali tidak tampak sebuah tempat yang lama tidak dihuni.
"Dua hari sekali Paman Lim menyuruh pelayan, untuk membersihkan tempat ini. Makanya selalu bersih meski tidak ada yang menghuni." Tanpa diminta, Ansel menjawab kebingungan yang terpancar dari wajah Sena. "Mau minum?" tawarnya.
Sena menggeleng. "Nggak perlu," tolak gadis itu.
"Yaudah, langsung ikut aku ke kamar aja."
"Hah?" Sena memundurkan kaki saat terkejut mendengar permintaan pria itu.
"Kamu mau bantu cari album kan?"
"Ya tapi nggak ke kamar juga."
"Albumnya di kamar, Sena."
"Ooh." Sena mengikuti langkah Ansel menuju sebuah kamar yang kemudian pintunya dia buka. "Ada berapa kamar di sini?"
"Dua. Satu kamar aku."
"Ini kamar Tante Anna?" Sena memperhatikan ruangan yang didominasi warna putih dengan lemari besar di sudut sana.
Gadis itu tidak penasaran apa isinya, karena Ansel kemudian membuka salah satu pintunya.
Sena ikut membuka pintu yang lain, banyak tumpukan map dan buku-buku di ruang paling bawah. "Album fotonya warna apa," dia lalu bertanya.
"Biru."
Setelah mendapat jawaban itu, Sena kembali mencari. Membuka setiap binder berwarna biru yang ternyata bukan berisi kumpulan foto.
"Di mana yah." Ansel bergumam sendiri, membuka semua laci yang berada di ruangan itu.
"Di kamar lo kali." Sena menutup pintu lemari, tempat ia ikut mencari tadi.
"Aku coba cari di sana. Kalo kamu nggak mau ikut, tunggu di ruang tamu saja."
"Gue kan mau bantu."
"Yaudah, terserah." Ansel membuka pintu kamarnya yang seketika menguarkan aroma pengharum ruangan, berbeda dari kamar Tante Anna, kamar pria itu lebih didominasi oleh warna hitam.
Sena memperhatikan sekeliling, ranjang yang tidak terlalu besar mungkin hanya bisa dipakai untuk dua orang. Disebelahnya, sebuah meja hanya dihuni oleh lampu tidur dan tidak ada apapun lagi, memang sepertinya Ansel jarang tinggal di sini.
"Ketemu?" Sena mendekat pada Ansel yang mengeluarkan binder tebal bertuliskan Album kenangan.
"Mau lihat?"
"Boleh." Sena menerima album itu kemudian membukanya, sedangkan Ansel masih merapikan barang-barang yang berserakan di hadapannya.
Beberapa lembar pertama, Sena dapat melihat foto kebersamaan Tante Anna dan suaminya. Sebuah foto pernikahan sederhana di lembar berikutnya membuat dia ikut tersenyum, Tante Anna terlihat sangat bahagia.
"Ini foto lo pas masih bayi?" Sena menunjuk gambar bayi kecil, yang sepertinya baru beberapa hari lahir.
Ansel yang ikut duduk di tepi ranjang kemudian mengangguk. "Lucu kan aku?"
"Bayinya sih lucu, gedenya ngeselin."
Ansel sedikit tertawa. Ikut fokus memperhatikan album foto yang dibuka oleh Sena.
Sena hanya melihat foto Ansel dari kecil hingga remaja. Bersama dengan ibunya tentu saja. Om Dwitama bahkan tidak terlihat lagi setelah lembar-lembar pertama. "Lo nggak ada foto sama sodara-sodara lo?"
"Kenapa? Kamu cari foto Sandi?"
"Apaan si, orang nanya doang. Album foto keluarga gue bahkan penuh sama abang kembar, sepupu juga. Selain keluarga Bagaskara, Lo nggak ada sodara?"
Bukan menjawab Ansel malah terdiam, sepertinya dia sudah bercerita sebelumnya, bahwa sang mama adalah anak tunggal. Dan dia tidak dikenalkan pada keluarga papanya.
"Kamu punya album foto seperti ini juga?"
"Punya. Ada foto keluarga, terus khusus foto gue sama temen-temen gue juga ada."
"Foto sama mantan pacar ada?"
"Ada. Lo mau liat?"
"Serius?"
"Bercanda." Sena berdecak sebal, mana mungkin dia menyimpan foto bersama mantan. Yang ada di ponselnya saja sudah ia hilangkan.
"Biasanya apa yang kalian lakukan, saat berdua di dalam kamar seperti ini."
Sena menutup album di pangkuannya, lalu memukulkan ke lengan Ansel yang malah tertawa. "Gue nggak pernah berduaan di kamar ya," omelnya.
"Ya siapa tau pernah."
"Sembarangan."
"Sena."
"Apah!"
"Bisa nggak, pake sapaan aku kamu saat berbicara sama aku?"
Sena mengangkat alis, kemudian tersenyum. "Bisa-bisa."
Jawaban itu membuat Ansel ikut tersenyum. "Coba dong."
"Aku sayang Mas pacar."
***
Lanjut
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...