49

2.4K 561 44
                                    

Ansel merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, mengingat apa yang kekasihnya lakukan beberapa saat yang lalu membuat dia tidak berhenti  tersenyum.

"Senaa-sena," gumamnya dengan sedikit tertawa, memainkan bibirnya sendiri dengan telunjuk dan ibu jari. Bekas lumattan perempuan itu mungkin masih bisa ia rasakan sampai pagi.

Sena perempuan yang berani, memancingnya yang nyaris tidak bisa mengendalikan diri. Karena bahkan saat perempuan itu memundurkan kepala, Ansel dengan sengaja kembali menarik tengkuk lehernya. Dia merasa tidak ingin melepaskan perempuann itu barang sebentar saja.

Ansel baralih menatap telapak tangannya, mengingat saat Sena membawanya merasakan dada seorang wanita untuk kali pertama. Tidak puas sampai di sana, dia justru menyusup ke balik kaus Sena dan menangkup dada perempuan itu yang begitu pas di telapak tangannya.

Ansel berdecak menyesal, jika Justin tahu, pria itu pasti akan membunuhnya.

Mengingat sosok Justin Ansel kembali mengenang ucapan pria itu, saat Ansel diminta menemuinya selepas makan bersama.

Justin bertanya apakah Ansel serius pada putri bungsunya.

Dan Ansel menjawabnya dengan tersenyum. "Apa Om Justin tidak berkenan akan hal itu?" tanyanya.

Justin tampak menggeleng, entah kenapa tersirat keraguan di raut wajahnya. Ansel menduga pria itu belum rela kehilangan putri bungsunya.

"Sena gadis yang berbeda, mungkin saja dia tidak seperti perempuan idaman yang bisa banyak kau temui di luaran sana. Kamu bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik dari putri saya."

Ansel tertegun saat itu, mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh ayah kandung Sena. Dari kedua bolamatanya, Ansel dapat melihat besarnya cinta seorang ayah yang tersimpan untuk putrinya. Mungkin pria itu tidak mau Ansel menyakitinya.

"Kau pewaris utama Bagaskara grup, setelah berita itu tersebar, banyak wanita yang akan mendekatimu. Dan mungkin lebih sempurna dari putri saya."

"Jika Om takut aku akan menyakiti Sena, aku tidak bisa berjanji untuk tidak melakukannya. Karena jujur aku masih belajar untuk memahami sikap putri om itu, aku takut tidak sengaja menyakiti Sena tanpa kusadari nantinya." Ansel akhirnya bersuara. "Tapi aku mau berjanji pada Om Justin, bahwa aku akan belajar membahagiakan putri om, sampai maut memisahkan kami berdua."

"Saya percaya kamu dapat melakukan itu. Tapi terkadang, perasaan kecewa menggelapkan mata hati dan juga cinta. Saya berharap, kamu bisa pertimbangkan lagi untuk serius dengan putri saya."

Ansel masih tidak bisa mengerti bahkan sampai saat ini. Justin tentu tidak mau Ansel menyakiti anak perempuan yang ia miliki satu-satunya. Itu yang dapat dia tangkap dari percakapan panjang mereka. Dan Ansel berjanji untuk tetap mencintai Sena, meski suatu saat nanti banyak menemui perempuan yang lebih cantik di luar sana.

Dering ponsel di saku celananya mengejutkan Ansel, dari lamunan tentang perempuan yang kini mengisi seluruh bagian hatinya. Panggilan video dari Sena, dia lupa memberi kabar pada kekasihnya.

"Iyah." Sapa Ansel setelah menggeser simbol hijau yang langsung menampilkan wajah cantik Sena,  memenuhi layar ponselnya.

"Kamu udah sampe rumah?" Sena bertanya.

"Udah."

"Kebiasaan banget ih, nggak pernah kasih kabar. Aku nungguin tau."

Melihat raut wajah perempuan itu merajuk membuat Ansel sedikit tertawa. "Iya, Lupa," ucapnya tanpa dosa.

Sena terlihat berdecak sebal. "Kayaknya emang cuma aku aja yang terus-terusan mikirin kamu yah, sedangkan kamu nggak."

"Siapa bilang." Ansel tidak terima, seandainya Sena tahu baru saja dia memikirkannya. Dan mungkin akan selalu memikirkannya.

"Tadi maaf yah." Sena tiba-tiba saja berkata seperti itu.

"Kenapa?" Ansel bertanya.

Sesaat Sena terlihat ragu, mungkin malu. "Kamu pasti ngira aku perempuan yang nggak bener ya," ucapnya lirih. "Abisnya kesel banget si, kaku banget kamunya, gemes akutuh." Dengan cepat dia melanjutkan kalimatnya.

Ansel tertawa. "Nggak apa-apa lah. Aku suka."

"Hm?" Sena mengangkat alisnya.

"Aku suka Sena yang agresif." Ansel kembali sedikit tertawa saat mengatakan kalimatnya. Sena menjulurkan lidahnya kesal. "Besok-besok jangan gitu lagi ya."

"Kenapa? Katanya tadi suka." Sena bertanya menggoda.

"Aku takut nggak bisa ngendaliin diri. Untung tadi di mobil, bukan di kamar."

"Kenapa kalo di kamar."

"Kamu nggak jadi pulang."

Sena tertawa, dia tentu paham apa artinya. "Mas pacar?"

"Hmm?"

"Semangat buat besok yah, semangat juga buat hari-hari ke depan."

"Doain ya."

Sena mengangguk. "Aku tau jodoh itu cerminan diri, orang baik akan bertemu dengan orang baik juga. Meskipun jodoh udah ada yang ngatur, aku tetep nekat pilih kamu, Mas pacar."

***

Lanjut...



Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang