43

3.1K 621 126
                                    

Pagi hari sebelum berangkat kuliah, Sena ikut sarapan dengan yang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari sebelum berangkat kuliah, Sena ikut sarapan dengan yang lain. Ada Jino dan keluarga kecilnya, juga sang mami yang tampak menyiapkan secangkir kopi untuk suaminya.

"Papi tumben belum turun, Mi?" Sena berbasa-basi menanyakan sang papi yang belum ikut bergabung dengan mereka.

"Semalem Papi kamu lembur di ruang kerja sampe pagi, entah apa yang dia cari. Mami panggil dulu deh." Nena beranjak pergi setelah mengutarakan kalimat itu.

"Semalem, lo pulang jam berapa?" Jino bertanya. Setelah Nara, istrinya berpamitan juga untuk mengantarkan kedua anaknya berangkat ke sekolah.

Sena yang sibuk menggigit roti selai di tangannya itu lalu menoleh. "Nggak sampe subuh," balasnya.

"Tapi lewat jam malam papi, kan?" tebaknya.

"Iya. Tapi papi nggak ngomel kok. Soalnya gue sama As ka ra." Dengan bangga, Sena mengeja nama kekasihnya.

Jino mencebikkan bibirnya meledek. "Lo nggak tau aja, alasan papi kenapa lo nggak diomelin pulang malem sama As ka ra," olok Jino dengan ikut melakukan hal yang sama.

"Emangnya apa."

"Papi masih percaya kalo Askara itu gay, Sena."

"What!" Sena terkejut tentu saja, setelah semalam pria itu berkata hubungannya dengan ansel seperti nona dan pengawalnya. Pagi ini dia justru mendapat kenyataan yang berbeda dari sang kakak. "Kok bisa sih papi mikir gitu."

"Mana gue tau. Tanyain aja sama orangnya." Jino mnunjuk kedatangan Justin dengan lirikan matanya, membuat pria paruh baya itu bertanya-tanya.

"Ada apa?" Justin menempatkan dirinya pada kursi yang biasa dia duduki. "Kok ngeliatin papi gitu?"

"Papi beneran masih ngira kalo Ansel itu nggak suka perempuan?" todong Sena tanpa ancang-ancang sebelumnya.

Justin menatap putrinya. "Kan, memang dia nggak suka perempuan."

"Papi kata siapa?" Sena yang tidak terima, kembali menodong pertanyaan pada pria paruh baya itu.

"Siapa yang nggak suka perempuan?" Nena yang ikut bergabung dengan mereka kemudian bertanya.

"Askara itu bilang nggak suka perempuan waktu ngelamar jadi pengawal Sena." Justin menjelaskan duduk permasalahannya.

"Itu kan karena papi emang nyari orang yang kaya gitu. Ya dia mah iya-iya aja biar diterima." Sena tentu membela kekasihnya.

"Memangnya kamu yakin Askara bukan orang yang seperti itu?"

Pertanyaan dari sang papi membuat Sena terdiam seketika. Dia lalu membayangkan kedekatan dengan Ansel di apartemennya. Tapi tentu saja gadis itu tidak mungkin mengadukan pada mereka.  Terlebih saat mendapati tatapan Jino yang tampak curiga.

"Ya pokoknya Ansel bukan orang yang kaya gitu." Tegas Sena, dia memang tidak bisa membuktikannya. Tapi gadis itu tentu ingin keluarganya percaya.

"Sekarang aku tanya. Apa yang kamu suka sih dari Askara?" Jino menunjuk wajah sang adik dengan roti yang ia genggam di tangannya. Jika tengah bersama orangtua mereka, dia memang kerap menggunakan sapaan aku kamu agar terdengar sopan saja. "Kaku banget sih kayaknya."

"Gini ya, Bang. Seorang anak perempuan itu menjadikan ayah mereka sebagai contoh untuk mencari pasangan. Ya aku nyari yang sifatnya sebelas dua belas sama papi lah."

"Kok jadi papi? Papi kan suka perempuan." Justin menoleh pada sang istri yang tengah mengoles roti tawar menggunakan pisau selai di tangannya. Mendapati keadaan tidak aman, dia segera meralat kalimatnya. "Suka sama mami kalian."

"Iih, Papi. Dibilang Ansel bukan orang yang kaya gitu." Sena mulai kehilangan kesabaran.

"Sena udah uji coba kayaknya. Aku sih percaya aja." Jino mendapat tendangan di kaki saat mengutarakan sindiran itu.

"Enak aja."

"Papi tuh harusnya marahin Sena udah pulang terlalu malem. Jangan karena Askara pernah jadi pengawal Sena, papi lantas percaya gitu aja."

"Askara udah janji mau jagain Sena, terus dia juga udah ìzin bakal pulang malem karena jengukin ibunya." Justin menjelaskan pada putranya.

Sena mengangguk setuju, meskipun sebenarnya dia pulang sore saat menjenguk mama Ansel, tapi dirinyalah yang mengulur waktu agar pulang lebih lama. "Kasian tau, Bang. Mamanya butuh perhatian khusus dari calon menantu kesayangannya."

"Memangnya hubungan kalian seserius itu?" Nena yang semula diam saja kemudian bertanya.

"Emang serius kok." Sena tersenyum bahagia.

Kedua orangtuanya tampak saling pandang, kemudian menoleh pada Jino yang terlihat tak acuh menghadapi pengakuan adiknya. "Setau aku, hubungan dia sama papanya itu masih nggak jelas kan? Apalagi setelah rapat nanti."

"Rapat apa?"

Jino menjelaskan bahwa Ansel akan menjadi rival papanya sendiri untuk memperebutkan proyek pembangunan apartemen di pusat kota. "Mungkin setelah itu hubungan mereka semakin rumit aja."

"Papi udah bujuk dia buat mundur dan ambil proyek lain, tapi dia nggak mau. Kita liatin aja."

"Dia beneran putra ke tiga Bagaskara bukan si?" Jino kembali bertanya.

"Dia memang putra ke tiga Dwitama. Tapi, satu-satunya keturunan Bagaskara."

"Eh?"

"Eh?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

Author: Maaf lama ya, beberapa hari kemarin aku lagi nggak baik-baik aja. Semoga dua bab ini bisa sedikit menghibur kalian ya.
Netizen: Thor, apakah papi Justin Suami Suami takut istri.
Author: Bukan takut si, cuma nggak mau nyakitin aja eeaaa.

Oh iya, Titik Balik di k b m a p p udah mulai update ya. Jangan lupa mampir. Kisah penulis sad ending yang mendapat kutukan pembaca dan tiba-tiba bisa melihat arwah Dafa yang sebenernya lagi koma. Bukan horor, masih komedi (semoga) Seru. Banyak haha hihi tentunya.












Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang