Malam ini, Ansel berada di sebuah kamar yang jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Tapi tidak mungkin jika pemuda itu tidk merasa gelisah, Sang Tuan mungkin sudah tahu siapa dia sebenarnya.
Ansel memang terlalu bodoh karena begitu terburu-buru mengambil keputusan untuk pergi dari rumah ini. Sejak Paman Handi bercerita bahwa Justin kembali menanyakan asal usul dirinya, yang diketahui sebagai keponakan pria itu. Ansel berpikir tuannya yang bukan orang biasa tentu sudah curiga.
Paman Handi berkata, Justin meminta ditunjukan selembar foto milik Askara, satu-satunya benda yang ia gunakan untuk mengenali keponakannya. Justin tentu tahu itu bukanlah potret dirinya.
Di tengah kegundahannya untuk tetap tinggal atau memilih melompati jendela dan kabur dari sana, dering ponselnya yang bergetar tidak seberapa, membuatnya terkejut luarbiasa.
Telepon dari Bastian, dia lalu mengangkatnya. Pertanyaan pria itu selalu saja sama. "Iya, ini aku masih hidup," jawab Ansel yang kekesalannya semakin memuncak entah kenapa.
"Aku tidak bisa mengakses cctv di kediaman Adley, apa kau menggantinya?"
Pertanyaan itu membuat Ansel mengusap wajahnya gusar dengan sebelah tangan, pria itu masih duduk di tepi ranjang dengan tidak tenang. "Aku tidak melakukan apa-apa," ucapnya lemah.
Di seberang sana Bastian terdengar mengumpat, dia langsung menerka apa yang tengah dilami oleh sahabatnya.
"Tunggu apa lagi? Kau harus cepat pergi dari rumah itu!"
"Tidak!"
"Apa kau sudah gila!"
"Aku memang sudah gila."
Bastian terdengar frustrasi di seberang sambungan telepon, yang ia tempelkan di telinganya. Sejenak Ansel memejamkan mata, memikirkan keputusannya yang tidak akan kabur dari sana.
Ansel lalu menceritakan tentang dugaan bahwa kedoknya sudah terbuka, sebuah kecurigaan yang sangat beralasan dan ia yakini kebenarannya.
"Aku akan menjemputmu. SEKARANG!"
"Bastian." Pelan Ansel memanggil nama sahabatnya, dia sepertinya lupa ada satu orang lagi yang ternyata begitu peduli dengan dirinya. "Kau tidak perlu melakukan itu," imbuhnya.
"Kau bisa mati!" Bastian kembali membujuk pria itu untuk berpikir sekali lagi.
"Biarkan saja, Bas. Biarkan aku mati di sini, setidaknya itu lebih terhormat daripada harus melarikan diri."
Bastian masih terdengar mengomel. Ansel menghela napas, berkata bahwa dia akan baik-baik saja, pemuda itu tidak perlu merisaukannya.
***
"Selamat, Pak Dwitama." Justin mengulurkan tangan, memberi selamat untuk kemenangan pria itu.
Mereka masih berada di dalam ruangan rapat, para petinggi yang lebih dulu memberi selamat pada pemimpin Bagaskara grup, nyaris mengosongkan tempat itu dan menyisakan Justin juga anak kembarnya yang memilih keluar lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...