Beberapa bulan ini, Ansel disibukkan oleh persiapan pernikahannya dengan Sena. Pria itu lebih banyak menyerahkan saja segala urusan pada calon istrinya, hanya sesekali dia kerap ikut saat dibutuhkan saja.
Selain itu, dia juga sibuk di kantor Bagaskara grup yang semakin maju pesat karena bekerja sama dengan perusahaan Justin.
Pihak luar mengira, pernikahan antara dirinya dan Sena adalah hubungan bisnis untuk mengepakkan sayap keduanya. Tapi Ansel tidak peduli dengan tanggapan itu, dia mencintai Sena dan begitu juga sebaliknya. Sama sekali tidak ada keterpaksaan di antara mereka.
Pria itu kerap merasa kasihan pada sang papa yang sepertinya sedikit dikucilkan para koleganya. Mungkin karena fakta bahwa dia telah menipu mamanya, seperti berita yang beredar di luaran sana.
Meski pria itu masih terasa asing bagi Ansel, dia kerap mendapati tatapan bangga dari kedua bolamatanya. Bagaimanapun juga, dalam diri Ansel mengalir darah Dwitama. Ansel dapat merasakan bahwa pria itu juga menyayanginya.
"Saya dedikasikan pencapaian ini untuk papa saya yang luarbiasa. Kemajuan perusahaan ini juga berkat dukungan beliau. Terimakasih, Papa." Ansel meletakan satu tangannya di dada, tersenyum pada sang papa. Di depan para petinggi yang hadir pada rapat itu, Ansel menyanjung ayahnya.
Dwitama terdiam, rautwajahnya menunjukkan ketidak percayaan bahwa saat ini semua pasang mata tertuju pada dirinya.
"Selamat Pak Dwitama, kalian keluarga yang hebat." Pria berpengaruh di sebelahnya itu mengulurkan tangan untuk memberikan selamat, begitu juga dengan yang lainnya.
***
"Beneran, Tante Anna udah boleh pulang?" Sena bertanya antusias pada pria yang duduk di balik kemudi. Mereka akan menjemput mama Ansel dan membawanya pulang ke rumah.
Sekilas Ansel menoleh, mengusap puncak kepala calon istrinya itu dengan sayang. "Iya, mama bilang udah nggak sabar pengen ketemu kamu."
"Kan dua hari yang lalu baru ketemu."
"Dia mau ketemu setiap hari."
Sena tersenyum senang, merasa terharu karena hal itu. "Kalo kita udah nikah nanti, kita beli rumah di deket papi boleh nggak? Terus ajak mama kamu tinggal bareng di situ."
"Memangnya kamu nggak apa-apa tinghal bareng mamaku?" Ansel bertanya. Mungkin dia menduga, kebanyakan menantu wanita seringkaki tidak akur dengan mertuanya.
"Nggak apa-apa lah. Kamu itu milik mamamu, aku cuma orang baru. Mana berani aku ngrebut kamu dari dia." Sena berucap sungguh-sungguh.
Meski dia juga bukan putri yang sempurna bagi maminya, tapi untuk Tante Anna dia akan berusaha menjadi menantu yang baik dan menerima wanita itu apa adanya. Dalam hati dia berjanji akan menyayangi Tante Anna seperti menyayangi maminya sendiri.
Mereka sampai di rumahsakit tempat sang mama dirawat. Sena langsung memeluk wanita itu. "Tante apa kabar?" tanyanya setelah melepaskan pelukan mereka.
"Baik, Sayang." Anna mengusap rambut Sena, kedua bolamatanya tampak berkaca-kaca. "Cantik banget calon menantu mama, jangan panggill tante boleh nggak?"
Sena mengerjap gugup, lalu segera mengangguk. "Mama sehat-sehat, Ya. Ikut pulang sama aku yuk."
"Makasih ya, Sayang." Setelah mengusap pipi calon menantunya sekali lagi, Anna lalu beralih pada Ansel. Wanita itu lalu berkata bahwa dia tidak ingin pulang ke mansion Bagaskara.
"Buat sementara tinggal di apartemen dulu mama nggak apa-apa kan?" Ansel berlutut di hadapan sang mama. "Nanti aku cariin perumahan yang deket sama Sena," imbuhnya.
"Mama nanti rumahnya deketan sama mami aku ya, biar nanti aku bisa tinggal sama mama." Sena ikut berlutut di hadapan wanita yang duduk di kursi roda. Meski sudah menjalani terapi untuk kakinya, sang mama masih belum bisa lancar berjalan, lalu memutuskan untuk memakai kursi roda sementara demi keselamatan.
Anna tampak begitu terharu. "Mama mau, Sayang. Mama mau tinggal sama kalian. Mama nggak mau sendirian lagi."
"Iya, Ma. Nanti aku kasih mama cucu yang banyak dan lucu-lucu. Biar rame rumah kita. Mama cepet sembuh yaa."
Ansel ikut tertawa mendengar tawaran dari Sena untuk sang mama, pria itu mengusap puncak kepala calon istrinya. "Kembar nggak?"
"Iya nanti kita bikin yang kembar."
.
Keesokan harinya, Ansel menemani sang mama untuk menemui Dwitama, pria yang saat ini sudah resmi menjadi mantan suaminya. Mereka juga ditemani oleh kuasa hukum yang akan membacakan pembagian harta gono gini untuk keduanya.
Beberapa bulan yang lalu Anna mengajukan surat perceraian yang tentu saja tidak bisa dibantah oleh Dwitama. Pria itu pun tidak pernah mangkir dalam persidangannya.
Dwitama dan keluarganya mau tidak mau harus keluar dari mantion Bagaskara, karena rumah besar itu sepenuhnya milik Anna. Pria itu hanya mendapat sebagian dari apa yang sudah ia hasilkan selama menjadi pemimpin perusahaan Bagaskara grup.
"Bisa kita berbicara?" Sebelum pergi, Dwitama menghampiri mantan istrinya.
Ana menyentuh tangan Ansel yang berada di pundaknya, menyuruh pria itu untuk meninggalkan mereka.
"Aku senang kau semakin sehat." Dwitama memulai percakapan, pria itu duduk di sofa, menghadap pada Anna yang duduk di kursi roda
Anna mengulas senyum hambar di bibirnya. "Apakah benar begitu, Tama?"
Tama adalah panggilan saat mereka baru pertama berjumpa, menjalin kasih hingga kemudian menikah. Anna harus menelan pil pahit saat mengetahui bahwa pria itu tidak tulus mencintainya.
"Sungguh." Dwitama mengulas senyum, kali ini terlihat tulus. Gurat penyesalan tergambar jelas di raut wajahnya, tapi tidak ada sedikitpun menggetakkan hati Anna. Pria itu benar-benar sudah hilang dari hatinya.
"Bagaimana kabar Sarah?" Basa-basi, Anna bertanya. Wanita itu tahu, banyak yang mereka ingin sampaikan dalam pertemuannya kali ini. Hanya saja, sulit bagi keduanya untuk membuka diri.
"Dia baik. Sedikit syok karena sekarang aku jatuh miskin." Sumbang, Dwitama tertawa.
Anna menganggap hal itu sebagai lelucon. Dia ikut mengulas senyum. "Sesungguhnya, Sarah adalah wanita beruntung yang bisa menguasai hatimu, Tama. Dia bisa mengendalikanmu dalam situasi apapun, termasuk saat menyakitiku."
Demi memenuhi keinginan Sarah untuk menjadi orang kaya, pria itu rela mengorbankan hatinya dengan menikah tanpa cinta. Dan Sarah juga yang mengendalikan setiap langkah yang diambil oleh suaminya.
Kalimat itu membuat Dwitama terdiam. "Kau jauh lebih beruntung bisa menguasai hati putra kita. Kau bisa mengendalikannya dalam situasi apapun, termasuk saat menumbangkan aku."
Ya, Ansel adalah satu-satunya kebahagiaan yang Anna dapat dari Dwitama sebagai suaminya.
"Apakah itu artinya kita impas?" Anna menatap pria yang pernah dicintainya sepenuh jiwa.
Dwitama mengangguk. "Hiduplah dengan bahagia, Anna. Aku melepaskanmu."
Tidak ada titik airmata. Anna cukup tegar untuk melepas status mereka. "Kau juga, hiduplah dengan bahagia."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...