10

3.6K 610 78
                                    

Ansel masih berlutut di hadapan sang ibu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ansel masih berlutut di hadapan sang ibu. Menggenggam jemarinya yang terasa semakin kurus dan dingin.

Tatapan wanita itu mengarah keluar jendela, tidak untuk menikmati pemandangan di sana. Ansel dapat melihat tatapan hampa dari kedua matanya.

"Mama, sabar yah. Setelah misi aku berhasil, aku pasti bawa mama keluar dari sini. Kita sama-sama lagi." Setelah mencium jemari wanita itu, Ansel kembali menatap raut wajah ibunya yang tampak melamun.

Suara ketukan pada pintu membuat Ansel mengalihkan pandangannya dari sang ibu. Pria itu beranjak bediri, saat suster yang keluarganya percaya untuk merawat wanita itu, membawa nampan berisi air dan satu mangkuk kecil dengan beberapa butir obat di dalamnya.

"Maaf, Tuan. Sudah saatnya Nyonya minum obat," ucap Suster Monik, yang setiap harinya selalu membantu keperluan sang ibu.

"Biar saya berikan." Ansel mengambil mangkuk kecil berisi obat dan juga segelas air minum di tangannya. Pria itu sedikit membungkuk untuk membujuk ibunya. "Mama minum obat, yah. Biar cepet sembuh."

Beberapa tahun lalu, sang ibu yang kerap mengurung diri di kamarnya itu dinyatakan depresi. Saat papanya berniat memasukkan wanita itu ke rumah sakit jiwa, Ansel mati-matian menolaknya.

Ibunya tidak berbahaya, hanya sesekali terlihat menangis tanpa menyakiti dirinya atau orang lain. Untuk itu Ansel meminta pada sang papa agar ibunya dirawat di rumah saja.

Papanya memang setuju, tapi dengan begitu Ansel harus mengikuti apapun yang pria itu mau. Termasuk diasingkan ke luar Negri dengan dalih menuntut ilmu. Dia juga tidak ikut diperkenalkan sebagai anggota keluarga, saat mengadakan acara-acara besar yang melibatkan perusahaan sang papa.

Dan semua orang hanya tahu keturunan Bagaskara hanya tiga bersaudara, tidak termasuk dirinya.

Ansel masih membujuk sang ibu untuk membuka mulut. Bukan menurut, wanita itu justru mendorong tangannya hingga gelas yang ia pegang pecah. Mereka tampak terkejut karenanya.

"Biar saya bersihkan, Tuan." Suster Monik mencegah Ansel yang ingin memungut pecahan gelas di bawah kaki ibunya, dengan segera wanita itu bergegas mengambil sapu juga kain lap yang tidak jauh dari sana.

"Mama." Ansel menarik kursi roda yang diduduki ibunya. Kembali berlutut di hadapan wanita itu yang masih diam saja. Ansel tidak tahu harus berkata apa.

"Stok obat Nyonya sudah habis, Tuan. Dokter Nata belum mengirimkan lagi." Sang suster berkata saat Ansel meminta obat baru untuk ibunya. Dokter Nata adalah dokter keluarga sang papa, Ansel tidak terlalu dekat dengannya.

"Berikan aku resep obatnya." Ansel berucap tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah sang ibu yang terlihat ingin mengatakan sesuatu.  Sesekali bibirnya pun sedikit terbuka, namun sorot mata itu masih saja sulit ia baca.

"Maaf, Tuan muda. Tuan besar melarangnya." Dengan takut, perempuan itu kembali berkata.

Ansel mengerutkan dahinya curiga.  Wanita di hadapannya itu pun kembali mengangkat suara.

Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang