Sena sudah berdandan begitu cantik saat menuruni anak tangga untuk menemui Ansel yang dia yakini masih berada di rumahnya.
Rok span selutut dengan sedikit rempel serut di bagian bawahnya itu membuat Sena terlihat manis dari biasanya. Kemeja polos berlengan pendek ia gunakan sebagai atasan. Agar semakin terlihat rapi, dia pun memasukan ujungnya dan siap untuk diajak jalan-jalan.
"Kaya karyawan mau interview." Sindir Jino saat melihat penampilan sang adik sedikit berbeda, dia tahu gadis itu tidak ada acara. "Mau kemana si?"
Sena berdecak sinis, lalu menghampiri abangnya yang menduduki kursi tinggi, di balik meja bar yang berada di bawah tangga. "Bang Nino mana?" bukan itu sebenarnya yang ingin dia tanya.
"Bang Nino nganterin tamu pulang."
"Ap, apah!" Sena syok tentu saja, jadi Ansel sudah pulang? Oh astaga, lalu untuk apa dia berdandan sedemikian rupa. "Ansel pulang?"
Jino mengangguk. "Lo kelamaan dandannya, jadi nggak sempet pamit. Buru-buru dia."
"Serius, Bang Jino." Sena menahan jengkel. Ansel memang sering membuatnya kesal. Dan kembali dikecewakan oleh pria itu dia pikir sudah cukup kebal, tapi ternyata masih sejengkel ini rasanya.
"Ngapain gue bercanda sama lo." Dengan yakin Jino mengatakannya. "Kata Askara, salam buat Nona Lasena Maura."
"Iiih, ngeselin banget sih." Sena menghentakkan kakinya marah, berbalik hendak kembali ke kamarnya. Namun pria bernama Askara yang dikatakan pulang oleh sang abang ternyata sudah berdiri di belakangnya. "Eh."
Menyaksikan Sena yang merajuk membuat Ansel sedikit tertawa, pria itu mendekat. "Apa kabar?" tanyanya.
"Bang Jino bilang lo udah pulang." Sena menoleh lagi pada sang abang yang memamerkan deretan giginya.
"Tapi boong," ucap Jino yang nyaris mendapat lemparan sendal, jika Ansel tidak mencegahnya.
Ansel yang tertawa meraih sebelah sendal dari tangan Sena dan menurunkannya. "Jangan marah, Sena. Kan aku masih ada di sini," tuturnya.
"Ngeselin banget dianya." Sena masih merajuk.
"Bang Jino bercanda." Dengan sabar Ansel menenangkan Sena yang terlihat semakin lucu raut wajahnya. Lalu bertanya setelah memperhatikan penampilan gadis itu yang sedikit berbeda. "Mau kemana? Kamu rapi banget."
"Ajak jalan-jalan dong, Sayang. Masa ditanya." Jino yang sudah turun dari kursi lalu menggoda adiknya. Reflek memundurkan kaki saat gadis itu nyaris menyerangnya.
"Rese banget, lo!" Sena mengomel lagi.
Dengan gemas Jino mengacak rambut sang adik, lalu menepuk lengan Ansel sebelum pergi meninggalkan mereka.
"Mau jalan-jalan sama aku?" Ansel benar-benar mengajak gadis itu pergi sesuai arahan dari Jino.
Sena menoleh. "Bang Jino jangan terlalu didengerin."
"Kamu nggak mau pergi sama aku?"
"Mau." Sena nyaris lupa bahwa Ansel berbeda dari kebanyakan pria, dia tidak akan mungkin membujuknya jika Sena berkata tidak.
Karena Ansel tidak pandai menawar, maka Sena tidak boleh jual mahal.
"Bentar, gue ambil tas sama hp dulu." Sena segera berlari menaiki anak tangga. Meninggalkan Ansel yang berjanji akan menunggunya.
Saat keluar kamar dan kembali menuruni anak tangga, Sena tidak menemukan keberadaan Ansel di tempatnya. Hingga kemudian pria itu muncul dari balik pintu penghubung ruang keluarga.
"Kamu dari mana?" Sena bertanya penasaran.
"Tadi nemuin Om sama Tante."
"Ngapain?"
"Minta izin buat bawa kamu keluar?"
Sena sedikit tertawa. "Lo berani?"
"Kenapa nggak?"
Sena berdecak sebal, Ansel selalu berbicara secukupnya, tidak bisa bercanda, apalagi menggodanya. Entah bagian mana yang membuat dirinya jatuh cinta. "Ayo pergi," ajaknya dengan menarik lengan pria itu.
"Nggak izin dulu."
"Kan lo udah izin. Ngapain izin lagi."
.
"Kita mau ke mana?" Sena bertanya saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Sekilas Ansel menoleh dengan tersenyum. "Ke rumah," ucapnya.
Sena menghela napas. "Katanya tadi mau pergi, ke rumah namanya pulang, Ansel," protesnya.
"Ya ke rumah dulu, aku mau ambil sesuatu."
"Abis itu."
"Jengukin mama mau nggak?"
"Mau." Dengan cepat Sena mengangguk. "Apa kabar mama kamu?" tanyanya.
"Baik."
Meski keadaan sang mama tidak terlalu banyak kemajuan, Ansel percaya suatu saat wanita itu akan sembuh dan mengingatnya.
Sang dokter meminta benda-benda yang dapat memicu ingatan mamanya kembali. Dia lalu memutuskan untuk memberikan album foto mereka saja.
"Jadi lo ke rumah mau ngambil album?"
"Cari sih, soalnya aku lupa naronya di mana."
"Gue bantu."
"Terimakasih." Ansel tersenyum. Rasanya ingin sekali dia mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Sena. Memuji gadis itu teramat cantik di matanya. Dan kemacetan jalan raya yang membutuhkan konsentrasi penuh, membuat pria itu batal melakukannya.
"Gue penasaran, tadi lo minta izinnya gimana sama papi?" Sena bertanya ketika Ansel menghentikan kendaraannya di belakang mobil lain yang terjebak lampu merah.
Ansel yang sudah menoleh lalu sedikit tertawa. "Penasaran apa?"
"Ya penasaran aja, lo ngomongnya gimana. Sebelumnya nggak ada yang berani berhadapan sama papi. Liat fotonya aja udah takut duluan."
"Oyah?" Ansel terlihat senang, seolah kalimat yang terlontar dari gadis itu adalah sebuah pujian. "Masa sih."
"Nggak percaya yaudah." Sena kembali mengarahkan pandangannya ke depan, memang benar apa yang ia katakan.
Ansel melajukan kendaraannya lagi, saat mobil di hadapannya mulai bergerak. "Aku bilang, minta izin buat ajak kamu keluar rumah. Kemungkinan pulangnya malam."
"Serius sampe malem?"
Ansel mengangguk. "Hari ini, aku ingin bersama Lasena Maura, seharian."
***
Lanjut....
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...