Ansel masih Enggan untuk ikut bergabung di kantor dengan keluarganya. Bahkan pada sang papa dia berkata lebih baik mencari pekerjaan sendiri hingga pria itu marah dan menantangnya.
Untuk saat ini Ansel memfokuskan diri merawat sang ibu. Papanya berjanji akan menanggung semua kebutuhan wanita itu, jadi dia tidak perlu repot-repot untuk memikirkannya. Benar kata Dizar, dia tidak harus ikut pusing memajukan perusahaan, jadi biarkan saja mereka yang akan melakukannya.
"Saya sudah tanyakan obat-obatan ini pada seorang dokter di sebuah rumah sakit." Paman Lim menghampiri Ansel yang kala itu tengah menyeka lengan sang ibu dengan handuk basah, wanita yang duduk di kursi roda itu terlihat diam saja.
"Mama sebentar, ya." Ansel beranjak berdiri setelah menaruh mangkuk berisi air hangat ke atas meja, bersebelahan dengan peralatan yang lainnya. Lalu beranjak pergi dari sana, meninggalkan sang mama di teras, yang masih sibuk memandangi danau buatan di hadapannya.
"Apa perlu saya tanyakan ke dokter lain?" Orang kepercayaan Ansel berucap lagi.
Ansel kembali memandangi obat-obatan di tangannya, Paman Lim tidak mungkin berdusta. Mungkin kecurigaan itu hanya bentuk kekhawatirannya saja.
"Tidak perlu, Paman. Terimakasih." Ansel menyimpan butiran obat yang terbungkus plastik itu ke dalam saku. "Nanti saya bujuk mama untuk meminumnya lagi."
Lim lalu bertanya bagaimana tawaran tuannya tentang pekerjaan di perusahaan. Ansel tentu sudah bercerita jabatan apa yang diberikan pria itu.
"Kenapa tidak Tuan coba saja? Siapa tahu memang benar untuk sementara, suatu saat nanti Tuan Besar pasti akan mengumumkan bahwa anda adalah putranya."
"Aku tidak butuh pengakuan itu."
"Tuan Muda–,"
"Paman." Ansel menyela, "jangan paksakan aku untuk menjadi bagian dari Bagaskara. Aku tidak merasa nyaman berada di antara mereka."
Pria paruh baya itu menunduk, kemudian mengangguk kecil. Dia hanya ingin melihat Ansel mendapatkan hak-haknya sebagai putra Bagaskara, itu saja.
Ansel hendak kembali pada ibunya saat suara benda bergeser membuat keduanya menoleh.
"Maaf, saya tidak sengaja tersandung meja saat berjalan." Seorang wanita yang membawa nampan berisi makanan, muncul dari balik tembok di belakang mereka. "Saya ingin mengantarkan makan siang untuk nyonya," imbuhnya setelah beberapa saat terjeda.
Ansel mendekat, ditatapnya sang suster yang segera menunduk saat pria di hadapannya tampak curiga. Mungkinkah perempuan itu memang sengaja menguping pembicaraannya. "Biar saya saja."
Ansel mengambil nampan dari tangan perempuan itu. Tanpa penolakan, sang suster lalu memberikannya.
"Baik, Tuan Muda. Saya permisi."
Setelah perempuan itu pergi Ansel lalu menoleh pada Paman Lim yang masih berdiri di sebelahnya. "Awasi dia," titah pemuda itu.
"Kenapa, Tuan. Bukankah dia suster yang dipercayakan untuk merawat nyonya?" Pria itu bertanya, sedikit merasa aneh saat Ansel malah terkesan melarang perempuan bernama Monik itu, untuk mendekati ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...