32

3.1K 623 65
                                    


Sena beranjak berdiri setelah meletakan piring di tangannya ke atas meja, gadis itu menghadap Ansel dan meminta maaf telah lancang memasuki rumahnya.

Ansel mendekat, masih bingung memilih kalimat apa yang harus lebih dulu ia lontarkan pada gadis itu. "Aku minta maaf," ucapnya.

"Nggak usah, lo nggak salah kok." Sena menjawab dengan sedikit tertawa, yang menambah kecanggungan di antara mereka.

"Sena–,"

"Gue ke sini." Nyaris bersamaan, keduanya tampak hendak melontarkan kalimat masing-masing. "Lo dulu aja," ucap Sena.

Ansel tersenyum ragu. "Nggak apa-apa, kamu dulu saja," pintanya.

Sena mengangguk, dia lalu berdehem dan mengalihkan pandangannya dari pemuda itu. Namun kemudian menoleh lagi saat Ansel masih saja menatap wajahnya. Dia bingung kenapa Ansel bisa setenang itu.

"Gue ke sini buat Tante Anna, dari dokter yang periksa obat itu gue tau semuanya." Sena mencoba untuk mengesampingkan perasaannya demi membantu wanita malang itu. "Rencana lo buat sekarang apa?" tanyanya.

"Saya." Ansel masih tidak tahu apa yang harus dia lakukan, untuk kesekian kalinya dia benar-benar merasa tidak berguna.

"Nanti temen gue yang dokter dateng ke sini, kira-kira bisa masuk nggak ya. Gue mau dia periksa keadaan Tante Anna, ini nggak bisa terus dibiarin, Sel." Sena menyela pemuda itu yang tidak kunjung bersuara.

"Biar Paman Lim yang mengurusnya."

Sena mengangguk, dia lalu mengambil ponsel dan menghubungi temannya untuk datang ke alamat yang dia berikan. Sena memberi pesan agar dia memakai baju biasa, lalu mengaku sebagai teman Ansel pada penjaga. Pengawal Ansel akan membawa dia menemui Tante Anna.

Setelah menyelesaikan obrolannya di telepon, Sena merasa canggung saat di antara mereka kembali hening. Dia berusaha untuk bersikap biasa saja  seperti Sena yang sebelum-sebelumnya.

"Bisa nggak kita lupain yang kemaren, terus bersikap seolah nggak terjadi apa-apa. Anggaplah kemaren gue cuma iseng dan lo yang berniat nyelametin gue dari Sandi, bersedia buat jadi pacar gue. Gue minta maaf udah terlalu serius menanggapi candaan gue sendiri, gue lupa lo nggak bisa bercanda."

Ansel mengerjap dua kali, mencerna kalimat panjang yang dilontarkan Sena atas status hubungan mereka.

Sena memaksakan bibirnya untuk tersenyum. "Gue mau bantu lo sama nyokap lo, kita bisa temenan kan?"

"Tidak bisakah kita memulai semuanya dari awal?" Ansel mengumpulkan keberaniannya untuk menyatakan perasaan sayang terhadap gadis itu. "Biar aku yang lebih dulu meminta kamu buat jadi pacar aku. Lalu kamu bilang setuju?"

Sena sedikit tertawa. "Nggak perlu, Sel. Gue nggak apa-apa, dari awal tawaran gue buat jadi pacar itu emang cuma bercanda, lo nggak perlu memaksakan diri meskipun merasa bersalah."

"Saya tidak bermaksud seperti itu."

Sena menggeleng, membuat kalimat pria di hadapannya seketika terhenti. "Dari awal gue emang tau lo beda, harusnya gue sadar. Jadi ini emang gue yang salah."

Merasa tidak mengerti dengan yang dikatakan gadis itu, Ansel mengangkat alis. "Berbeda?" tanyanya.

"Lo nggak suka perempuan kan?"

"Hah?"

Sena tertawa sumbang, merasa tidak enak membahas sesuatu yang mungkin akan menyinggung perasaan pria itu. Tapi dia juga tidak mau Ansel memaksakan diri untuk menjadi pasangannya. Mungkin dia tidak akan bahagia.

"Tapi–," belum sempat menanggapi lagi. Paman Lim menghampiri mereka dengan diikuti seorang pria di belakangnya.

"Kenalin, ini Dokter Arya, dia yang kemaren meriksa obat-obatan Tante Anna." Sena memperkenalkan dokter Arya yang adalah putra dari teman papinya. Mereka memang cukup akrab karena sering dipertemukan di suatu acara.

Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang