"Anna!" Menjelang malam sepulang dari kantor, Dwitama mengetuk pintu kamar istrinya, yang tidak juga mendapat tanggapan dari dalam.
"Cari siapa, Pa. Mama tidak ada di rumah ini." Ansel yang tahu sang papa pasti akan mencari ibunya tentu memilih pulang lebih dulu.
Dwitama mendekat, pria paruh baya itu lalu mengangkat tangan untuk menampar putra ke tiganya itu, namun Ansel menahannya.
"Berani sekarang kamu melawan papa, Ansel?" Dwitama yang menarik paksa tangannya kemudian berucap dengan geram.
Halim berdiri di belakang Ansel, mengawal pria itu kalau-kalau terjadi perkelahian di antara mereka, belum lagi sekarang semua anak majikannya ikut muncul di ruangan itu, termasuk Sarah.
Ansel tidak merasa takut sama sekali. Meski akan dikeroyok oleh semua saudaranya dan mati di tangan mereka, itu lebih baik daripada harus diam saja saat tahu mereka menginjak hargadirinya.
"Mama sudah berbaik hati untuk tetap menerima kalian di rumah ini. Seharusnya kalian berterimakasih." Dengan berani Ansel mengutarakan kalimatnya, karena memang begitulah keadaannya.
Dwitama terlihat geram. Puluhan tahun mengabdikan hidupnya untuk Bagaskara, dia tentu tidak bisa untuk meninggalkannya begitu saja. Dan Ansel tahu akan hal itu.
"Beginikah caramu mempermalukan papamu sendiri, Ansel. Mempermalukan keluarga Bagaskara?" Dwitama terlihat tidak menyangka.
"Keluarga Bagaskara hanya mama, kemudian aku. Kalian tidak berhak menyandang gelar itu, terlebih perlakuan kalian sangat buruk pada mamaku."
"Anak kurang ajar!" Dwitama mengangkat tangannya lagi, namun kali Ini Paman Lim lah yang menangkapnya.
"Maaf, Tuan. Mohon jangan ada kekerasan."
"Sudah berani memberikan perintah kau, Lim? Mulai sekarang kamu saya pecat." Dengan marah Dwitama membentak asisten putra ke tiganya yang dia gaji setiap bulan.
"Mulai sekarang, Paman Lim bekerja padaku." Ansel menegaskan.
Dwitama sepertinya tahu, tidak ada gunanya melawan putra ketiganya itu. Karena semua petinggi di perusahaan bahkan telah setuju dengan Ansel lah yang menjadi pemimpin baru.
Setelah sang papa dan semua anggota keluarganya pergi meninggalkan dirinya begitu saja, Ansel yang merasa lemas kedua kakinya segera terduduk di kursi, yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Dia belum pernah melawan pria itu sebelumnya. Ansel merasa telah berdosa karena begitu tidak menghormatinya.
"Tuan muda, Anda tidak apa-apa?" Halim menyentuh pundak Ansel.
"Tidak apa-apa, Paman Lim."
***
"Gimana urusan kamu sama papa kamu? Lancar?" Sena bertanya saat mereka sudah berada di pusat perbelanjaan terbesar di kotanya.
Setelah menjenguk Anna di rumah sakit, mereka memutuskan untuk mencari hiburan di sana.
Ansel yang berjalan di sebelah perempuan itu kemudian mengangguk. "Lancar," ucapnya. Beberapa minggu ini bahkan dia sudah mulai bekerja di perusahaan Bagaskara, banyak kolega sang papa yang sigap membantunya.
"Gimana rasanya kerja?" Sena bertanya.
Sesaat Ansel berpikir. "Pusing. Enakan jadi pengawal kamu," akunya.
Hal itu membuat Sena sontak tertawa. "Makanya kamu tuh jadi pengawal aku aja."
"Tapi buat melamar kamu, nggak cuma cukup bisa ngawal aja, Sena."
Hening. Alih-alih menanggapi pernyataan itu dengan sebuah candaan seperti biasa, Sena justru diam saja.
"Kenapa?" Ansel yang merasa bingung, kemudian bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomantiekAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...