44

2.6K 580 108
                                    


Proyek pembangunan apartemen yang imenangkan oleh Justin dan timnya itu mengundang Dwitama untuk memberikan selamat pada dirinya.

Justin sengaja tidak membawa Ansel ke empat itu, karena dia tahu akan menimbulkan kecanggungan di antara mereka selama rapat diselenggarakan.

"Selamat, Pak Justin. Ide yang kalian berikan sungguh luar biasa," ucap Dwitama saat berbasa-basi memberikan selamat pada rivalnya itu. Dengan sombongnya dia pun berkata bahwa tidak terlalu bersungguh-sungguh dalam proyek ini.

"Wah, Pak Dwitama, apakah memang benar begitu. Pantas saja kami bisa menang dengan begitu mudah," sindirnya.

Dwitama yang sempat diam lalu mengangguk, dia kembali menepuk lengan Justin dan memuji ide yang diberikan mereka memang sangat bagus dan kreatif. "Apakah ide itu dari kedua putramu? Sepertinya Dizar dan Sandi perlu banyak belajar dari mereka. Sungguh luarbiasa."

Pujian itu membuat Justin sedikit tertawa. "Tidak juga, Pak Dwitama. Kedua putraku justru banyak belajar dari putramu," ucapnya.

"Oyah?" Dwitama terlihat bingung, pria paruh baya itu tampaknya tengah mencerna maksud Justin yang tidak terdengar bercanda. "Apa mereka saling kenal? Kupikir hanya anak gadismu saja yang mendekati Sandi, putraku."

Meski kesal, Justin tidak membiarkan senyum di bibirnya memudar. "Àpa putriku berlaku tidak sopan kepada Anda, Pak?"

"Ah, tidak begitu. Sandi pernah membawanya ke rumah, mungkin karena hal itu mereka semua dekat. Saya bahkan tidak menyadarinya."

"Kami hanya dekat dengan satu putramu saja, Pak Dwitama." Justin menjelaskan sembari mengajak pria itu untuk berjalan ke luar ruangan. Mereka merencanakan minum kopi bersama.

Dwitama terlihat berpikir. "Sandi? Apa hubungan putraku dengan putrimu memang sejauh itu?"

"Bukan Sandi, Pak Dwitama. Apa putri saya mendekati Sandi? Sepertinya tidak begitu. Saya kenal semua anak-anak saya."

Dwitama tertegun, sejenak langkahnya pun terhenti. Justin ikut melakukan hal yang sama dan menoĺeh pada lawan bicaranya. "Jadi maksud anda, saya tidak mengenal anak-anak saya?"

"Anda merasa saya berkata seperti itu? Maaf, saya tidak bermaksud seperti itu, Pak Dwitama."

"Jelas sekali anda menganggap saya tidak mengenal anak-anak saya sendiri." Dwitama tertawa sinis saat mengatakan kalimat itu.

Sesaat Justin terdiam, kemudian bertanya. "Apakah anda masih ingat dengan singa sirkus yang terjebak di kandang saya?"

Dwitama ikut diam, raut wajahnya menunjukan keterkejutan. Tapi dia tidak berkata apa-apa.

"Bukankah itu putramu juga, Pak Dwitama. Sepertinya anda tidak mengenalnya." Justin tersenyum miring, jelas sekali Dwitama terlihat kesal pada dirinya.

"Maaf, Pak Justin. Sepertinya saya ada urusan. Mungkin lain kali saja kita bisa minum kopi bersama." Dwitama membatalkan rencana minum kopi mereka setelah melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

Justin mengangguk maklum. "Saya tunggu lain kali itu, Pak Dwitama. Ah iya, ide yang anda puji dan saya menangkan di rapat hari ini, itu dari putra anda. Sekarang dia bekerja di perusahaan saya."

Dwitama terkejut. "Ansel?" tanyanya tidak percaya.

Dengan tenang Justin mengulas senyum. "Anda mengenalnya?"

***

Ansel tahu apa yang ingin dibahas oleh keluarganya saat sang papa mengundangnya untuk hadir di makan malam kali ini.

"Jika anda tidak bersedia, aku akan memberitahu Tuan bahwa anda tengah tidak enak badan, Tuan Muda." Paman Lim memberikan solusi atas kegundahan yang terlihat di raut wajah anak majikannya.

Ansel menggeleng. "Tidak perlu, Paman. Aku akan menghadiri makan malam itu."

"Tuan Besar mungkin akan menanyakan kenapa anda bekerja pada Tuan Justin."

"Aku tau. Aku juga sudah punya jawaban atas itu." Kabar tentang kekalahan sang papa tentu sudah sampai ke telinganya. Ansel tahu pria itu pasti begitu marah.

Halim hanya mengangguk, dia lalu mengikuti langkah tuannya menuju rumah utama untuk menghadiri makan malam.

Ansel merasakan tatapan menusuk dari semua anggota keluarga, yang bahkan tidak menganggap dirinya bagian dari mereka. Tapi pria itu berusaha untuk bersikap biasa saja.

Justin mengajarkannya untuk berani bersuara. Dia punya hak yang bahkan lebih dari mereka semua.

"Ada penghianat di sini." Kalimat itu terlontar dari Sandi, yang tertawa sinis setelah mengatakannya.

Ansel tidak menanggapi, bersikap seolah tidak mendengarkan cemoohan itu dan membuat Sandi terlihat kesal.

"Kak Dizar, apakah orang seperti ini pantas kita anggap sebagai saudara?" Sandi mengompori sang kakak yang duduk di sebelahnya.

Ansel sedikit tertawa. Dan hal itu membuat Sandi menoleh tidak senang. "Aku bahkan tidak tau sebelumnya kau menganggapku sebagai saudara," sindirnya. "Aku terharu."

"Omong kosong. Seorang penghianat sepertimu memang tidak pantas menjadi bagian Bagaskara." Sandi terpancing emosi.

"Oh, apa sebelumnya aku juga termasuk bagian dari Bagaskara?" Ansel semakin membuat lawannya merasa jengkel.

"Cukup!" Dizar angkat suara, membuat suasana di ruang makan yang luas itu terdengar semakin hening. Bahkan tidak dengan suara sendok dan piring. "Makan malam bahkan belum dimulai, kalian malah bertengkar. Jangan buat papa semakin pusing."

Ansel dapat menangkap tatapan Dizar mengarah padanya, kentara sekali sorot benci terpancar dari sana. Kenyataan bahwa dia dikalahkan oleh adiknya sendiri membuatnya tidak terima.

Dwitama yang sebelumnya diam saja lalu ikut menoleh pada putra ke tiganya.  "Apa yang kamu lakukan, Ansel? Sepertinya kamu terlalu sibuk memajukan perusahaan orang lain."

"Apa papa pernah memintaku untuk memajukan perusahaan papa?"

"Kau sudah besar. Sudah pintar menjawab." Dwitama terlihat geram.

"Papa bahkan sudah menyiapkan tempat untukmu di perusahaan." Sandi ikut bersuara.

"Menjadi pion kecil yang kalian perlakukan sebagai umpan?" sindir Ansel.

"Ansel!" Tegus Dizar. "Kamu tahu maksud papa bukan seperti itu."

"Aku tidak pernah tahu apapun tentang keluarga ini."

***
Lanjut

Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang