45

2.6K 615 56
                                    

"Sepertinya aku tidak perlu ikut makan malam kali ini." Mendengar pertengkaran ketiga kakaknya membuat Saci merasa pusing, gadis itu lalu beranjak berdiri.

"Duduklah, Saci. Jangan hiraukan mereka." Sarah menyendokkan nasi ke piring putrinya, setelah melakukan hal yang sama pada sang suami.

Tentu saja hanya Ansel yang tidak mendapat perlakuan seistimewa itu dari ibu tirinya, tapi dia pun tidak berharap apa-apa.

"Apa kau menganggap aku memperlakukanmu sebagai pion?" Dwitama bertanya dengan menatap lekat wajah putra ke tiganya.

Ansel tertegun. Menatap balik wajah sang papa dengan mata yang sama seperti saat dia menatap cermin di kamarnya. Pria paruh baya itu adalah ayah kandungnya, tapi kenapa perlakuannya sungguh berbeda. "Apa sebelumnya papa pernah menganggapku sebagai putra ke tiga Bagaskara?"

Dwitama mengeratkan genggaman pada sendok di tangannya. "Aku menyekolahkanmu bukan untuk menjadi musuh keluargamu sendiri, Ansel."

Ansel diam, dia tidak berani menyela saat pria itu tengah berbicara. Tapi sepertinya dia juga perlu untuk membela dirinya.

"Sejak kapan kamu bekerja di perusahaan Justin."

Ansel menghela napas berat. "Sejak papa tidak memberikan aku tempat di perusahaan Bagaskara."

"Apa Justin memberikan apa yang tidak aku berikan padamu?"

"Iya."

"Apa dia menyekolahkanmu? Menanggung semua biaya hidupmu, memberikan semua kemewahan selama pulahan tahun kau hidup bersamaku?"

Ansel terdiam. Bukan karena dia mengakui kesalahannya. Dia bahkan layak mendapatkan lebih dari itu tanpa harus meminta. Sang papa hanya memberikan sedikit dari haknya sebagai putra Bagaskara.

"Selama ini kita terlanjur tidak mengenalkan Ansel dari dunia luar. Sekalian saja kita putuskan hubungan dengan dia." Sandi mengutarakan pendapatnya, mengundang tatapan Ansel mengarah kepadanya.

Sejak tahu Ansel cukup dekat dengan Sena. Sandi terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya pada adiknya itu.

"Bagaimana Kak Dizar? Apa kamu setuju?" Sandi mencari dukungan pada sang kakak yang juga tidak suka pada adik mereka.

"Aku nggak setuju." Adalah Saci yang menjawabnya.

"Tidak ada yang meminta pendapatmu." Sandi menyela.

"Aku setuju." Dizar angkat suara.

Kali ini tatapan Ansel mengarah pada kakak pertamanya. Pria itu memang tidak pernah mengaku kalah pada siapapun, apalagi dirinya. Ansel hanya tersenyum sinis menanggapinya.

"Ansel terlalu sulit dikendalikan, Pa. Biarkan saja dia memilih jalannya sendiri. Toh selama ini dia memang sudah terbiasa tanpa nama besar Bagaskara." Dizar mengutarakan pendapatnya. Dan disambut hangat oleh Sandi. Sebagai anak yang paling tua, dia memang paling dihormati.

"Selesaikan makan kalian. Lupakan dulu masalah ini." Dwitama memberi perintah.

"Papa setuju kan sama usul kita?"

"Sandi. Selesaikan makan malammu, banyaklah belajar mengenai perusahaan jika kau tidak ingin papa pindahkan ke kantor cabang."

"Papa! Salah aku apa coba. Papa belain Ansel?" Sandi tidak terima dengan perlakuan orangtuanya.

"Papa harus tegas pada Ansel, bagaimana mungkin dia malah bekerja untuk orang lain. Lalu mengalahkan kita di proyek besar kemarin." Dizar ikut tidak terima saat tak ada tindakan dari sang papa.

"Kamu mengakui kekalahanmu, kan?" Dwitama meletakan sendok di tangannya begitu saja, membuat suasana yang semula tegang berubah hening. "Selesaikan makan kalian, lupakan masalah ini," tegasnya sekali lagi.

"Kenapa, Pa?" Pertanyaan itu membuat semua pasang mata tertuju pada Ansel penuh tanya. "Kenapa papa nggak berani usir aku dari sini?"

Dwitama menatap putranya dalam diam. "Apa yang kamu tanyakan?"

"Kenapa papa nggak bisa ngusir aku dari sini?" Ansel mengulang pertanyaannya dengan berani. "Apa karena ternyata hanya aku pewaris tunggal Bagaskara?"

Hening.

Baik Dwitama maupun semua anggota keluarga di ruang makan itu sontak terdiam. Dan Sarah adalah orang yang paling tidak terima atas ungkapan Ansel di hadapan anak-anaknya.

"Cukup, Ansel. Kamu sudah keterlaluan."

"Kenapa, Tante? Tante takut tidak bisa hidup mewah tanpa menyandang gelar bangsawan Bagaskara?" Ansel bertanya dengan sedikit tawa di bibirnya.

"Omong kosong." Sandi nyaris beranjak berdiri saat Dizar kemudian menahan dadanya.

"Sekarang aku tau, kenapa papa menahan mama di rumah ini dan tidak mau meninggalkannya." Ansel mengepalkan tangannya saat mengingat semua itu. Dari buku harian sang mama yang bertuliskan nama Ansel pada sampulnya, wanita itu menceritakan semuanya. "Dan aku juga tau kenapa Tante Sarah memberikan obat-obatan palsu agar mama tidak pernah sembuh."

"Jangan sembarangan berbicara kamu!" Sarah tidak terima.

Setelah menyapukan pandangannya pada wajah-wajah terkejut penghuni meja makan. Ansel memusatkan tatapannya pada sang papa yang masih diam saja. "Kenapa, Pa? Kenapa papa diam. Apa papa membenarkan semua ucapanku?"

"Cukup, Ansel. Kamu tidak tahu apa-apa." Dwitama angkat suara.

"Oyah? Aku memang tidak tau apa-apa sebelumnya. Dan kebenaran itu telah terungkap dengan sendirinya."

"Kamu tidak tahu apa-apa. Berhentilah seolah kamu tahu segalanya, Ansel." Dwitama terlihat marah, Ansel tahu kenyataan itu telah menganggu pikirannya.

"Aku tidak akan berhenti meminta keadilan untuk mama di keluarga ini." Ansel menegaskan lagi. "Bahkan, pion yang seringkali dianggap sebagai umpan, bisa membunuh raja dengan langkah kecilnya."

.

Lanjut...

Fake Bodyguard (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang