"Bergabunglah dengan perusahaan saya."
Ansel terkejut, tentu saja. Ditatapnya sang tuan dengan pandangan tidak percaya, kemudian kembali menunduk dan berpikir apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
Justin yang tampak menunggu kemudian mengangkat alis. "Bagaimana?" desaknya.
Ansel memilih diam saja dan terlihat semakin menunduk, tanpa diduga dia lalu berlutut di hadapan Justin. "Tawaran seperti itu sungguh sebuah kehormatan untuk saya, yang sebenarnya tidak pantas mendapatkannya. Jika boleh memilih, saya lebih baik dipenjara untuk menebus kesalahan saya," ucapnya.
Justin terkesan tentu saja. Kesetiaan pemuda itu pada keluarga, patut ia hargai setinggi-tingginya. "Bangunlah."
Ansel masih diam, rasanya begitu lancang saat dia berani menolak penawaran Justin yang tentu saja tidak sembarangan, sungguh dia tidak pantas melakukannya.
"Bangunlah," ulang Justin, dengan menepuk bahu pemuda yang berlutut di hadapannya.
Perlahan Ansel beranjak berdiri, mundur beberapa langkah untuk kembali ke tempatnya semula. "Sungguh saya minta maaf, Tuan," sesalnya.
Justin tampak mengangguk, pria itu sedikit tertawa. "Justru saya merasa aneh jika kamu tidak menolaknya," ucap pria itu.
Ansel terdiam, membiarkan saja pria paruh baya itu meneruskan kalimatnya.
"Kamu tidak harus menjawabnya sekarang, pikirkan saja dulu," ucap Justin seraya beranjak berdiri, setelah merapikan berkas-berkas di atas meja, dia lalu melangkah menghampiri Ansel yang masih menunduk di tempatnya. "Saya mengajak kamu bergabung ke perusahaan saya, bukan untuk membalas keluargamu. Saya hanya ingin mereka tahu tentang potensimu."
"Terimakasih, Tuan."
Justin tersenyum, lalu menepuk pundak pria di hadapannya sekilas. "Menetaplah dimana kau bisa dihargai. Ansel Bagaskar, Dwitama perlu nama itu untuk menjadi salahsatu pemimpin di perusahaannya. Percayalah."
Ansel mengangguk, pujian dari pria itu sungguh membuatnya tersenyum. Dia benar-benar merasa terharu.
"Pulanglah, titipkan salamku untuk Dwitama. Katakan padanya bahwa aku mengundang dia untuk bersantai lain waktu, kami perlu membicarakan bagaimana cara dia mendidikmu."
Ansel yang tidak berani mendongakkan kepala pun hanya bisa menggeleng. "Pujian itu terlalu berlebihan untuk saya, Tuan. Saya tidak pantas menerimanya."
"Kenapa?" tanya Justin pura-pura tidak mengerti, dia tentu tengah menggali tentang pemuda itu lebih dalam lagi. "Apa bahkan Dwitama juga tidak tau cara melakukannya?"
Berhadapan dengan Justin membuat Ansel lebih banyak diam. Dia takut salah menjawab semua pertanyaan yang ia duga adalah jebakan.
"Terkadang seseorang menjadi lebih kuat bukan karena didikan dari orangtua. Bisa karena keadaan, atau bahkan desakan." Justin menepuk pundak pria itu lagi kemudian melangkah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Bodyguard (Lengkap)
RomanceAnsel Bagaskara terpaksa harus menyelinap ke sebuah rumah besar pengusaha ternama, untuk mencari dokumen penting rahasia perusahaannya. Rencana yang sudah ia susun begitu rapi nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang ia kira. Satu kesalahan membua...