--***--_____________________________________
Ponsel itu berdering ketika Arka selesai membereskan bukunya. Ia mengangkatnya, dan dalam beberapa menit kemudian telepon terputus. Arka melempar ponsel itu ke tempat tidur. Ia mengerang pelan. Telepon itu berasal dari Dr. Hans. Dokter spesialis yang menangani kondisinya. Dr. Hans memberitahukan bahwa kemungkinan Arka harus menambah jadwal chek up di Rumah sakit. "Ngrepotin," gumam Arka lirih.
Akhir-akhir ini Arka sering drop dan harus keluar masuk Rumah sakit. Kondisi yang ia harapkan tidak semakin membaik namun sebaliknya. Hal ini di sebabkan karena Arka mengabaikan perawatannya. Arka bosan dengan kondisi seperti ini. Semua terbatas, semua diatur sehingga ia tidak bebas melakukan apapun.
Arka menjatuhkan dirinya di tempat tidur dan menatap langit langit kamar. Ia membayangkan betapa buruk hidupnya. Apa Arka bisa bertahan lebih lama? Apa semua akan baik baik saja?
"Arka!" panggil Amara dari balik pintu kamar. Suara Kakaknya membuyarkan lamunannya. Jika ia boleh jujur, ia sedang tidak ingin di ganggu.
"Arka, boleh Kakak masuk?" pinta Amara, namun Arka enggan untuk menjawabnya. Arka membiarkan suara itu memanggilnya berkali kali.
Hingga pada akhirnya, Perempuan itu nekat memutar knob pintu. Amara khawatir karena tidak ada sahutan apapun dari dalam. Arka beranjak lalu menyenderkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Kemudian Arka memandang Kakaknya yang hanya berdiri tanpa melakukan apapun.
"Arka lagi gak mau diganggu!" ucap Arka datar.
"Iya Kakak tahu." Perlahan Amara berjalan mendekati Arka, ia duduk di samping Arka. Tangan yang hangat itu menyentuh pipi Arka. Terlihat dari mata Amara ia menahan agar tak menangis. Arka tahu Kakaknya menghawatirkan kondisinya. Jika Arka mampu ia ingin memeluk tubuh Amara seerat mungkin, menangis bila perlu.
"Arka bilang, Arka gak mau di ganggu." Arka mencoba tersenyum walaupun terpaksa. Ia tak ingin membuat Kakaknya terlalu menghawatirkannya. Namun itu hanya membuat Amara semakin kalut.
"Maafin Arka," kata Arka singkat.
Amara menggeleng cepat. "Arka gak salah. Kakak cuma kangen Arka yang dulu. Arka yang dekat sama Kakak. Arka yang gak suka mengurung diri," kata Amara yang kemudian memeluk Arka.
Arka merasa bahunya basah. Arka tahu Kakaknya menangis. Namun tidak ada yang bisa ia lakukan.
"Maafin Arka," kata Arka sekali lagi. Amara mempererat pelukannya. Arka tau, Perubahan sikap Kakaknya ini dikarenakan telepon dari Dr. Hans. Ia yakin Dr. Hans juga memberitahukan masalah ini kepada Amara. Sehingga membuat Amara menjadi seperti ini.
"Arka, gak papa. Jangan terlalu khawatir." Arka menepuk lembut punggung Amara, menenangkannya dan membiarkan Kakaknya larut dalam pelukannya.
Amara melepas pelukannya dari Arka, ia menatap dalam wajah adiknya yang terlihat pucat. Sekali lagi Amara mengusap pipi Arka, dan dengan tersenyum Arka memejamkan mata kemudian menggenggam tangan Amara.
"Kakak gak boleh sedih, sudah cukup Arka membuat orang di sekitar Arka menderita," ucap Arka. Sudah cukup ia kehilangan Aleta. Aleta seseorang yang berada di masa lalunya. Aleta gadis yang ia cinta. Gadis yang telah meninggalkan Arka untuk selamanya.
Amara menghapus air mata yang masih mengalir membasahi kedua pelupuk matanya. "Kita jalan-jalan yuk, kamu pasti bosen dirumah terus." Amara tersenyum, tangannya terulur menggenggam erat tangan Arka.
"Kita ajak Azka sekalian ya, dia baru saja pulang dari sekolah," tambahnya.
Arka mengangguk pelan. "Iya." Kemudian tersenyum.
--***--
Azka berhenti di depan gedung yang ramai pengunjung itu, kemudian dengan lantang berteriak pada kedua Kakaknya yang masih jauh di belakangnya. "Ayo, cepetan kak. Azka udah laper.""Iya iya, kamu ini makanan terus yang dipikirin," balas Amara ketika sudah berada di samping Azka.
"Ya habisnya, pulang sekolah langsung di ajak kesini."
"Udah lama banget ya kita gak kesini, kangen sama cumi bakar buatan restoran ini," ucap Amara tanpa menjawab Azka.
"Iya terakhir sebelum Bunda dan Ayah berangkat ke Korea." Azka tersenyum ketika mengingatnya. Restoran ini adalah tempat makan favorit keluarganya. Namun, setelah orang tuanya berangkat ke Korea karena urusan pekerjaan. Mereka menjadi jarang datang ke tempat ini.
Semenjak Ayah mereka di pindah tugaskan ke Korea. Mereka menjadi jarang ketemu Ayah sedangkan Bunda akhir-akhir harus menyusul Ayah karena ada suatu kepentingan. Sehingga harus bolak balik Indonesia - Korea untuk mengunjungi ketiga anak kesayangan mereka.
Tanpa berlama lagi ketiga Kakak beradik itu masuk. Restoran itu selalu ramai pengunjung. Mungkin karena menu andalan mereka yang selalu diminati banyak orang.
"Kamu mau makan apa?" tanya Amara pada Arka saat mereka berada di depan kasir, sedangkan Azka sudah dari tadi memesan makanan.
"Terserah Kakak, Arka langsung cari tempat ya." Tanpa menunggu jawaban dari Amara, Arka langsung pergi mencari tempat.
Arka memilih tempat yang jarang di lalui banyak orang. Yaitu, di sisi pojok dekat jendela yang mengarah pada jalan raya. Ia suka tempat yang tenang. Ia mengeluarkan ponselnya. Ada notifikasi pesan masuk, Arka membukanya.
*Reza
•Ka, kapan masuk sekolah? Anak-anak nanyain, nih.
______
•16.37Lusa•
______
16.40•
✓✓Arka kembali memasukkan ponselnya kedalam saku hoddienya. Bersamaan dengan itu Amara dan Azka menghampirinya. Menunggu pesanan mereka datang sambil berbincang bincang. Tak lama mereka menunggu, pesanan mereka datang. Tanpa menunggu lama Azka menyantap pesanannya.
Sudah lama Arka tidak menikmati hari dimana ia bisa berkumpul bersama Kakak dan Adiknya seperti ini. Sepertinya ia terlalu sibuk memikirkan urusannya sendiri. Arka menghela napas panjang. Untuk kali ini saja ia ingin melupakan hal yang menyakitkan dalam hidupnya.
--***--
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMU ITU SIRIUS
Teen FictionTuhan memberikan takdir terbaik dalam hidupku. Karena telah mengijinkan aku bertemu kamu. Sosok laki-laki penuh cinta dan luka. Laki-laki yang memiliki senyum tipis namun hangat. Laki-laki yang memiliki rasa takut akan kehilangan dan bahkan lupa car...