Chapter 39 : Regret

137 23 176
                                    

—***—


"Dari penyesalan kita belajar arti keikhlasan. Dari penyesalan kita belajar memperbaiki diri. Tidak ada penyesalan yang datang di awal. Begitulah cara Tuhan membuat hambanya sadar akan kesalahan."


•••

Sudah hampir 3 jam lamanya, dokter yang menangani Arka tak kunjung keluar juga dari ruangan. Padahal semua orang tengah menunggu kabar Arka, dengan harapan laki-laki itu akan baik-baik saja.

Setelah kejadian tadi, Arka langsung di larikan ke Rumah Sakit. Sementara Reygan telah melarikan diri bersama semua anak buahnya sebelum teman-teman Arka dapat menangkap mereka.

Arka kehilangan banyak darah, itu sudah pasti. Karena sejak dalam perjalanan ke Rumah Sakit darah yang keluar dari kepalanya tak mau berhenti mengalir.

"Udah Lan, lo nangis terus sejak tadi." Reza menghapus sisa jejak air mata Alana yang sudah mengering. Gadis itu tak mau berhenti menangis. Bahkan wajahnya nampak pucat dan penampilannya acak-acakan.

"Gue gak nangis." Alana berbohong, padahal Reza dapat melihatnya dengan jelas.

"Luka lo gak diobatin?" Reza melihat darah yang sudah mengering di sudut bibir Alana. Tamparan dari anak buah Reygan ternyata meninggalkan bekas yang cukup terlihat. Bahkan pipinya terdapat luka lebam. Bisa dibayangkan betapa kuat tamparan yang Alana terima.  

Kini koridor sudah di penuhi banyak orang yang menunggu. Amara dan Azka juga berada di sana. Setelah mendapat kabar, Amara langsung datang bersama Azka. Wanita itu tak bisa tenang, ia terus menangis dan Azka sendiri tengah menenangkannya.

Aldy mengeram kekesalan. Baginya Reygan adalah iblis berwujud manusia. Sisi Reygan yang selalu tampak tenang ternyata dapat merencanakan pengeroyokan dengan sangat kejam. Tadinya, Aldy juga berpikir semua ucapan Reygan hanyalah ancaman belaka. Namun, tanpa ia sangka laki-laki itu sudah melakukan tindakan di luar nalar.

Vano melirik Justin yang menangis sejak tadi. Laki-laki itu tak berhenti mengintip pintu sembari memanjatkan doa. Anggapannya mengenai Justin yang selalu tampak ceria itu salah, bahkan Justin menangis lebih kencang dari dugaannya.

"Seharusnya kita gak biarin Arka pergi sendirian, Van." Vano menatap Justin pedih, tangannya terulur menenangkan. "Arka bakal baik-baik aja kan?" tambahnya.

"Arka kuat, dia gak selemah itu."

Alana yang mendengar itu, menggigit bibir bawah dan meremat ujung roknya. Bukan hanya Justin saja yang merasa bersalah, Alana juga. Jika saja dari awal dia bisa melarang Arka untuk tidak keluar dari mobil. Mungkin kejadiannya tidak akan separah ini.

Setelah cukup lama menunggu, pintu itu terbuka lebar. Menampilkan sosok pria paruh baya yang lengkap dengan seragam scrub yang ia kenakan.

"Bagaimana kondisi Arka?" tanya Justin tak sabar.

Hans tersenyum menggeleng dengan tatapan yang sulit diartikan. "Arka mengalami Hematoma Intrakranial atau yang biasa di sebut penumpukan darah pada otak. Benturan yang terjadi menyebabkan pecahnya pembuluh darah hingga menyebabkan pendarahan yang cukup parah. Untung saja kalian bawa Arka tepat waktu. Sehingga saya dapat melakukan tindakan untuk mencegah kerusakan otak permanen."

"Arka akan cepat pulihkan, Dok?" tanya Reza.

"Saya usahakan yang terbaik, kalian semua juga harus berdoa. Semoga Arka cepat melewati masa kritisnya."

KAMU ITU SIRIUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang