—***—
"Kita memang tidak ditakdirkan bersama. Tuhan pun tampaknya tak setuju jika aku menginginkanmu lebih dari sekedar impian."
-Alana Zhenia Cessa-
•••
Alana melangkahkan kaki memasuki gedung Rumah Sakit. Senyumnya masih mengembang sejak keluar dari toko buku. Gadis itu membeli beberapa buku untuk ia bacakan pada Arka nanti. Kata Papa Hans, seseorang yang mengalami koma memang tidak akan memberikan respon apapun, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa masih bisa mendengar suara sekitar.
Tadinya, Alana dan Reza sepakat untuk berangkat bersama. Namun, Pak Hanly mengadakan pertemuan mendadak bersama anggota inti klub basket sepulang sekolah. Sehingga Reza akan menyusul nanti jika pertemuan itu telah usai.
Alana memutar knob pintu, masuk ke dalam ruangan. Hal pertama yang ia lihat di sana adalah beberapa tas wanita dan juga koper berukuran sedang. Alana sempat mengira tas dan koper itu adalah milik Amara. Namun, ia kembali berpikir bahwa Amara tak mungkin membawa barang sebanyak itu ke Rumah Sakit.
Tak ingin berpikir terlalu jauh, Alana meletakan buku-buku yang ia beli tadi di atas nakas dan duduk di kursi dekat brankar. Memandangi wajah Arka yang masih enggan membuka mata.
"Arka, aku mau cerita deh, tentang sekolah hari ini. Tadi Bu Gesca tuh ngadain ujian mendadak. Terus dia bilang nilaiku salah satu yang tertinggi. Berkat diajarin sama kamu aku gak kesulitan lagi sekarang. Aku jadi lebih PD sama hasil yang aku dapatkan."
Alana tersenyum samar dan mengeratkan genggamannya pada tangan Arka. "Kamu itu ambisius, Ka. Mengejar apapun yang kamu inginkan dan selalu menjadi nomor satu di sekolah. Kamu tau gak sih? Walaupun kamu gak masuk, semua guru masih suka ngomongin kamu. Tentang kecerdasan kamu, prestasi kamu dan semua kebaikan kamu di sekolah."
"Kata Papa kamu itu kuat seperti baja. Kamu gak pernah nunjukin sisi kelemahan kamu di depan semua orang. Hati kamu itu baik, banyak yang sayang sama kamu. Bangun ya, jangan curang karena udah nyatain perasaan duluan. Kamu belum denger kalo aku juga sayang sama kamu."
Alana menenggelamkan wajah, menahan air mata agar tak tumpah lagi. Dadanya sesak karena Tuhan masih belum mengabulkan permohonannya.
Beberapa menit kemudian, pintu terdengar terbuka dari luar. Alana sudah menduga, orang itu pasti Reza. Karena biasanya Amara dan Azka akan ke Rumah Sakit sore hari. Sementara teman-teman yang lain pada malam harinya.
Perlahan Alana mengangkat kepala, melihat Reza yang mungkin sudah berdiri di samping dengan senyum gigi kelincinya. "Za, akhirnya lo dateng jug—"
Kalimat Alana terhenti secara otomatis. Napasnya tercekat dengan mata yang membulat sempurna. Dugaannya salah besar saat mengira bahwa orang itu adalah Reza.
"Udah selesai dramanya?" tanya orang itu angkuh dengan tangan terlipat di depan dada.
"Jessy?"
"Kenapa, kaget gue di sini? Atau lo takut hubungan lo sama Arka bakal hancur dengan adanya gue."
Memilih mengabaikan, Alana segera mencari topik pembicaraan lain. "Sejak kapan pulang dari Jepang? Lombanya lancar?"
Tak ada senyum sedikit pun yang dapat Alana tangkap dari raut wajah Jessy. Gadis itu masih mempertahankan ekspresi dinginnya, juga tatapan yang sering Alana dapatkan dulu sebelum Jesy berangkat ke Jepang.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAMU ITU SIRIUS
Teen FictionTuhan memberikan takdir terbaik dalam hidupku. Karena telah mengijinkan aku bertemu kamu. Sosok laki-laki penuh cinta dan luka. Laki-laki yang memiliki senyum tipis namun hangat. Laki-laki yang memiliki rasa takut akan kehilangan dan bahkan lupa car...