Chapter 48 : Rain & Wounds

99 11 2
                                    

—***—

Sore itu hujan mulai teduh, namun awan masih menghitam dan meninggalkan sedikit rintikan gerimis. Sekolah sudah tutup dari 3 jam yang lalu. Dan mungkin pintu gerbang telah tertutup rapat karena tidak ada aktifitas siswa seperti biasanya. Mereka semua memutuskan pulang dan meniadakan kegiatan pada hari ini.

Berbeda dengan Arka, ia masih setia menatap kosong lapangan basket yang basah. Tanpa seorang pun tau, ia masih di sana sendirian.

Benda bulat itu masih bertahan di tangan kirinya sejak tadi. Sementara di tangan kanannya mencengkram kertas putih yang ia dapatkan dari Rumah Sakit.

Atensi Arka beralih pada kertas putih itu. Ia menarik sudut bibirnya, kemudian meremas kertas itu dengan tangan yang bergetar dan melemparnya ke sembarang arah.

Laki-laki berwajah pucat itu melepas jaketnya dan bangkit. Ia memantulkan benda bulat itu ke bawah sekali. Kemudian berlari sembari mendribblenya dan dengan lihai memasukkannya ke dalam ring. Jujur, sudah lama ia tidak menyentuh benda itu.

Setelah 5 menit lamanya, Arka berhenti. Napasnya terengah-engah karena kelelahan. Sesekali ia menatap bola basket di tangannya yang menggigil. Ia masih belum menyerah walaupun buku-buku jarinya telah memutih.

Arka akan membuktikan kepada Pak Hanly dan Adellyn mengenai kondisinya. Arka yakin ia akan baik-baik saja menjalani kehidupan serta pengobatannya dengan seimbang.

Sekali lagi Arka mendribble bola, kali ini ia mencoba dengan bidikan jarak jauh. Namun saat akan melempar bola itu masuk ke dalam ring, pandangannya memburam. Arka memejamkan mata dan menggelengkan kepala beberapa kali.

Akhir-akhir ini Arka selalu merasakan kepala belakangnya sakit. Dan kali ini rasa sakit itu datang di saat yang tidak tepat. Ia juga merasa tulang kakinya lemas, dan tak lama darah segar mengalir dari hidungnya. Kejadian ini sudah sering terjadi semenjak kepalanya membentur trotoar karena pengeroyokan itu.

Bola itu jatuh dari tangan Arka bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk. Ia jatuh berlutut, ia tak berdaya, semua tubuhnya terasa sakit dan dingin.

"Gak guna lo, sialan," umpatnya serak. Arka memukul-pukul kepala juga kakinya. Ia tak bisa merasakan apapun, syaraf-syarafnya tidak berfungsi dengan baik.

Arka mencoba bangkit, namun kakinya seperti membeku. Ia kembali ambruk di lapangan yang basah. Bahkan hanya untuk menggapai bola di depannya saja ia tak mampu.

Laki-laki itu menangis tanpa suara. Buat apa ia terus hidup jika tidak berguna. Sepertinya ini adalah karma Tuhan untuknya, karena dirinya lah penyebab dari kematian Aleta.

Hujan mulai turun lagi, dan kali ini sedikit lebih deras. Arka masih di sana menangis di bawah hujan.

"Arka?"

Arka mendongak menatap seseorang yang menepuk bahunya. Ia tak begitu jelas menatap orang itu.

"Lo ngapain? Kok hujan-hujanan? Lo belum pulang?" Orang itu bertanya dengan panik.

"L-lo Va..." Arka menebak-nebak, karena pendengaran serta pengelihatannya terhalang oleh derasnya hujan.

"Iya gue Vano. Ka, lo gak apa-apakan? Lo nangis?"

Vano melirik bola basket di samping Arka. Ia masih menunggu jawaban dari sahabatnya itu. "Lo main basket sendirian? Kok gak bilang ke anak-anak? Kita kan bisa latihan bareng-bareng." Vano berkata lagi.

Mendengar itu Arka memaksakan tubuhnya bangkit. Ia tak menjawab satupun pertanyaan Vano. Ia menepis tangan Vano dan berjalan dengan tertatih.

"Ka, lo mau kemana? Lo lagi ada masalah?" Vano mengikuti langkah Arka, ia ingin tahu alasan Arka berada di sekolah di saat sekolah sepi. Tak biasanya ia melihat Arka seperti itu.

KAMU ITU SIRIUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang