Sekar mengetuk pintu kamar Renita keras. Gadis itu terlihat tidak akan berhenti dalam waktu dekat, jadi Renita yang tadinya sedang berbaring istirahat beranjak pelan dari tempat tidur lalu membuka sedikit pintu kamarnya dengan ekspresi datar.
Saat Renita memberi Sekar tatapan cuek yang berarti menanyakan alasan dia mengetuk pintunya keras, Sekar mengangkat kedua tangannya tanda damai lalu berujar, "Semua kandidat lagi kumpul di dapur, kamu nggak mau ikut?"
Renita menjawab dengan cepat, "Nggak." Lalu menutup pintunya. Terdengar suara gerutu dari Sekar yang semakin jauh. Renita masih bersandar pada pintunya, Ia memang mengatakan tidak karena spontanitas, tapi saat ini jika dia tidak ikut rasanya akan tertinggal sesuatu. Apalagi perutnya juga lapar.
Renita menggerutu pelan sambil mengambil ponselnya lalu memutuskan untuk turun ke bawah.
Suasana dapur sudah ramai karena semua kandidat ada di sana sambil berbincang ceria. Saat Renita memasuki ruangan suasana mendadak hening, dengan semua orang saling bertukar pandang. Ia baru saja akan kembali ke kamar tetapi Sekar berceletuk, "Tadi katanya nggak mau?! Kamu lapar juga kan makanya ke sini?"
Walaupun Renita masih jengkel dengan Sekar, dia diam-diam bersyukur Sekar ada di sini. "Ehem, aku jadi lapar, jadi apa boleh aku ikut gabung?"
"Gabung aja kali, gak perlu canggung gitu. Aku tadinya cuma mau makan sendiri, tapi kebetulan pas udah di dapur ternyata kak Eka udah di sini duluan lagi masak." Sergah Kara dari depan kompor.
Lita menarik kursi di sebelahnya lalu memberi isyarat agar Renita duduk. Gadis itu tersenyum kecil sambil mengambil tempat di sebelah Lita. Sekar menatapnya dari sebelah Lita. "Lain kali gak usah gengsi gitu kali." Bisiknya agak keras.
"Kalau bukan kamu yang panggil, aku pasti akan langsung ikut." Jawab Renita dengan nada kesal. Lita memisahkan keduanya, sambil tersenyum canggung. "Teman-teman, tenang ..."
Renita dan Sekar akhirnya kembali duduk tegak di tempat mereka. Eka mengalihkan pandangan pada mereka, "Kalian ini beneran deket ya .." Celetuknya yang dibalas dengan gerutu dari kedua belah pihak.
"No, udah males ketemu dia terus kak ..." Jawab Sekar.
"Dih, dia aja yang ikut-ikutan seleksi ..." Sergah Renita.
Keheningan seketika melanda dapur setelah mendengar ucapan Renita. semua orang memandangnya dengan ekspresi yang jelas jelas kesal. "Yah, yang ikut-ikutan seleksi itu jutaan orang." Tambah Lita.
Renita berdeham keras, dengan ekspresi sungkan, "Well, kecuali satu orang tentu saja."
Kara yang sedari tadi hanya menonton tanpa berkomentar kini mendapat pandangan dari semua orang. "Oke, Kalian tidak perlu memandang seperti itu." Jawabnya canggung.
Eka kembali fokus dengan masakannya, begitu juga Kara yang membatunya. Suasana yang tadinya hening dipecahkan oleh pertanyaan dari Sekar. "Jadi kamu benar-benar kenalan beliau?"
Kara yang sudah menduga akan jadi bahan pembicaraan, sudah menyiapkan mental dengan pertanyaan seputar Pangeran. Eka yang ada di sebelahnya jelas-jelas memandanginya menunggu jawaban.
"Iya. Kami bertemu di organisasi yang sama. Karena aku masuk kelas akselerasi di sekolah, kuliahku juga dua tahun lebih awal. Kami seangkatan jadi kami cukup dekat."
Eka fokus pada panci di depannya. Mie rebus yang sudah matang akhirnya dibawa ke meja oleh Eka. "Apa Kanjeng Pangeran punya pacar saat kuliah?" Tanya Lita.
Kara membawa panci kedua untuk diletakkan di meja. Renita mendapati gadis itu sedang mempertimbangkan jawaban yang akan diberikannya. "Setahuku tidak. Mungkin dia punya tapi aku tidak tahu. Entahlah, dia hanya pernah bilang punya orang yang disukai."

KAMU SEDANG MEMBACA
Privilege [END]
Historical FictionWARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika tahu kalau dia dipilih langsung oleh Putra Mahkota dan menjadi kandidat nomor...