Meskipun judulnya kencan, Kara tidak paham bagaimana dia bisa 'berkencan' ketika dia dan Dita duduk berdua di salah satu paviliun terbuka di tengah kolam ikan Keraton dengan dua penjaga pangeran dan penjaga pribadi Kara bersiaga sekitar lima meter dari mereka. Bahkan ada kamera yang merekam mereka berdua dari jarak jauh. Atas seizin Dita, pihak dokumenter boleh mengambil gambar saja tanpa adanya audio dalam momen kencan pangeran dengan kandidat.
Kara terlihat memandang jauh ke belakang pangeran, kebetulan pemandangan alam yang terlihat dari kolam ini sangat indah. Gunung merapi menjulang tinggi yang sudah tidak aktif lagi membuat keberadaan Keraton menjadi aman.
"Kamu adalah satu-satunya kandidat yang tidak fokus padaku saat berkencan seperti ini." Ujar Pangeran sambil menyeruput tehnya.
Kara bahkan tidak memandang Dita saat dia menjawab, "Hmm, benarkah?"
Dita menoleh ke belakang, lalu dia memandang ke arah Kara lagi, "Ah, merapi. Memang pemandangan yang tidak bisa diabaikan. Ayah dan Ibu juga menyukai berbincang sore di sini. Apalagi saat matahari mulai tenggelam, suasananya sungguh indah."
"Sepertinya aku ingin melihat suasana matahari tenggelam di sini." Jawab Kara sambil mengalihkan perhatiannya pada Dita.
"Kamu bisa memandang ini tiap hari jika terpilih." Respon Dita Ringan sambil tersenyum penuh arti. Kara hanya memandangnya dengan ekspresi datar. "Terima kasih atas tawarannya."
Dita mulai makan hidangan yang ada di depannya, begitu juga Kara. Mereka makan dalam diam sampai akhirnya Dita menaruh alat makan, menelan makanannya kemudian membuka pembicaraan, "Ada hal yang ingin kukatakan padamu."
Kara masih melanjutkan makan sambil memberi ekspresi tanya, "Tentang guru manner, ada seseorang yang tidak terduga mengajukan diri."
Kara masih menyimak sambil makan. Dita kemudian melanjutkan, "Sepertinya aku harus memberitahumu, kalau dia adalah nenekmu."
Gerakan makan Kara terhenti, ia kemudian meletakkan alat makannya, meneguk air sedikit kemudian bersandar ke belakang sambil memandang Dita tajam. "Nenekku, dari pihak Ayah?"
Dita menganggukkan kepala.
"Kenapa mas Dita tidak menolaknya?"
"Tidak ada alasan untuk menolaknya. Lagipula beliau adalah bibi Ayah."
Kali ini Kara tertawa, "Apaa?"
"Kamu ingat bahwa Mendiang Raja sebelumnya untuk pertama kalinya menikah atas dasar cinta kan? Nenekmu adalah adik mendiang Ratu. Jadi bisa dibilang Ayahmu dan Ayahku sepupu di pihak ibu."
Kara cukup lama terdiam sampai akhirnya sampai pada kesimpulan, "Jadi kita adalah saudara dengan Eyang Buyut yang sama? Nenek dari pihak ayahku adalah adik dari Mendiang Ratu terdahulu?"
Dita mengangguk. "Wah, aku kehabisan kata-kata."
"Me too honestly."
"But can we married tho if the status like that?"
"Well, we are not direct cousin so I think no problem with that. But wait, kamu punya niat nikah sama aku?"
Kara menggelengkan kepala dengan cepat. "Jadi intinya kita masih keluarga, dan nenekku yang membenci ibuku mengajukan diri menjadi guru manner para kandidat?"
"Iya. Aku merasa perlu bilang ini padamu karena aku sudah menerimanya."
Kara menghembuskan napas, nafsu makannya sudah hilang. Perasaannya campur aduk, tapi Ia memutuskan untuk menceritakan ini pada Dita.
"Aku sudah tahu bagaimana ibuku bisa menjadi orangtua tunggal. Dan sekarang, aku akan berbicara pada temanku mas Dita bukan pada pangeran."
Kara menarik napas keras lalu mulai menceritakan kisah ibunya. Air mata sesekali berjuang untuk keluar dari matanya, tapi ia selalu mengusapnya sebelum jatuh keluar. Begitu ia selesai bercerita Kara menatap Dita tajam. "Dan sekarang aku mengetahui kalau orang itu akan jadi guruku lalu menurutmu aku harus bagaimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Privilege [END]
Historical FictionWARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika tahu kalau dia dipilih langsung oleh Putra Mahkota dan menjadi kandidat nomor...