Lanjutan Chapter 24
--------
"Jadi bagaimana dengan tugas yang kuberikan padamu?"
Kara menganggukkan kepala. "Sebulan ini lumayan lancar. Aku melihat cukup drama untuk dilaporkan. Renita dan Sekar adalah dua kandidat yang sudah cukup kudekati. Dua orang yang lain, masih belum. Tahu sendiri kan konflikku bagaimana?"
Dita menganggukkan kepala, "Jadi apa yang bisa kamu laporkan padaku?"
"Sekar ternyata naksir pada kakak pertama Renita. Namanya mas Dika? Intinya, saat liburan kemarin mas Dika memintanya untuk memberi dia kesempatan dan tahukan menanyakan apakah menjadi putri mahkota adalah keingannya?"
"Oh, jadi ternyata Sekar suka Mas Dika?" Tanya Dita.
Kara mengangguk, "Berdasarkan yang kudengar sih iya. Bahkan Renita juga baru tahu kemarin. Sekar bilang akan memikirkan lagi tentang seleksi ini. Jadi yah, bisa saja dia mengundurkan diri setelah memikirkan semuanya."
"Omong-omong tentang liburanmu dengan Renita, apa kamu tidak penasaran dengan isi pertemuanku dengan utusan dari keluarga ayahmu?" Tanya Dita sambil menatap Kara dengan lekat.
Kara menghembuskan napas keras. Ia melihat jauh ke pemandangan di belakang Dita. "Ini yang kakak maksud pembicaraan dengan keluarga ayahku?"
Dita menganggukkan kepala.
Kara menyahut, "Bukannya sama saja ya? Dengan nenek maksudku."
Dita menggelengkan kepala, "Sayangnya tidak. Pada hari yang sama, nenekmu datang secara langsung untuk bertemu ayahku dan menyampaikan niatnya menjadi guru manner. Tetapi, tidak lama kemudian aku menerima tamu utusan Ayahmu. Kalau dilihat dari gerak-geriknya, sepertinya pihak ayahmu tidak berhubungan langsung dengan ibunya."
Kara mengingat sesuatu, "Lalu apa maksud foto yang kakak berikan padaku?"
"Utusan ayahmu menunjukkan foto itu dan bukti tes DNA yang membuktikan kalau kamu anaknya. Aku menyimpan bukti DNA itu, dan menunjukkan fotonya padamu. Kalau kamu ingin tahu siapa ayahmu, bilang saja, aku akan memberikan bukti itu padamu."
Kara merasa aneh. Ia bahkan merasa familiar melihat foto itu, tapi dia tidak bisa menangkap di mana letak familiarnya. Ia masih memikirkan apakah harus bertanya pada ibunya atau tidak.
"Aku merasa familiar melihat foto itu, tapi aku tidak bisa menunjuk apa yang familiar dari itu." Ujar Kara sambil mengeryitkan mata.
Dita mengulurkan tangannya pada Kara yang hanya dipandang oleh gadis itu, ia kemudian memberi Kara tatapan agar dia menerima uluran tangannya. Akhirnya gadis itu menerima uluran tangan Dita.
"Thank you for doing this even though you face this kind of struggle."
Dita tersenyum manis sedangkan Kara memberinya senyuman kecil sambil meremas tangan Dita. "Thanks to you." Jawabnya dengan nada jenaka.
"Intinya, aku akan tanya pada ibuku dulu. Setelah itu akan kuputuskan. Ah mengenai laporan kandidat, aku melihat Renita sebagai orang yang serius ingin menjadi putri mahkota. Aku suka padanya karena dia satu-satunya orang yang tidak banyak ikut campur dengan kandidat lain dan hanya fokus pada dirinya sendiri."
Dita mengangguk. "Dari awal dia cukup menarik perhatianku ... profilnya sempurna, sikapnya juga berwibawa sekaligus anggun di saat yang bersamaan. Kualitas sebagai calon Ratu cukup untuk memikatku."
Kara menatap Dita dengan ekspresi penuh tanya, "Kakak benar-benar tertarik padanya?"
Dita menaikkan kedua bahunya. "Entah kenapa aku merasa familiar dengannya."
Kara lalu mengeluarkan ponselnya. Ia membuka sebuah foto dan menunjukkan itu pada Dita. "Apa ini bisa membantu? Aku mengambil foto ini saat ikut liburan dengan Renita."
Dita melihat foto itu lalu tersenyum, foto yang diambil Kara, berisi gambar tiga orang anak kecil. Dua laki-laki dan seorang perempuan. "Kenapa kamu mengambil foto ini?"
"Bukanya anak laki-laki yang berdiri di kanan itu kamu kak? Lalu yang satunya itu Kak Aiden? Renita pernah bilang padaku kalau dia punya orang yang dia kenal waktu kecil yang dianggapnya teman. Jadi aku mengasumsikan kalau teman itu adalah anak laki-laki dalam foto itu. Jadi saat aku melihat foto itu terpajang di kamar Renita, secara spontan aku memotretnya."
Dita menggelengkan kepala kagum, "Kamu bahkan bisa mengenaliku di foto seperti itu?"
Kara memasang ekspresi datar sambil mengulurkan tangan untuk meminta ponselnya. "Anda kan sering pamer foto masa kecil ke saya Kanjeng." Ucap Kara dengan nada bicara hormat yang dibuat-buat.
Kara lalu menceritakan beberapa pengalaman bergaul dengan Renita dan Sekar saat liburan di villa pada Dita. Ia juga menceritakan sebagian percakapan dengan para tamu saat pesta malam berlangsung. Suasana itu membuat keduanya antusias sehingga adegan yang tertangkap kamera membuat keduanya terlihat santai dan ceria.
Raga tiba-tiba mendekat ke arah mereka lalu berbisik di telinga Dita. Setelah itu Dita akhirnya menyudahi kencan mereka.
"Maaf, sepertinya aku harus pergi duluan ada jadwal." Ucapnya cepat. Kara sedikit terkejut tapi memaklumi sikap Dita.
"Ah baiklah, terima kasih untuk hari ini." Jawab Kara sambil melambaikan tangan pada Dita yang beranjak pergi.
Kara memutuskan untuk tetap tinggal. Lagipula, masih tersisa waktu kencan dengan pangeran, dan setelah yang bersangkutan pergi duluan karena ada urusan maka dia ingin bersantai sejenak. Kara memperhatikan kalau para kru dokumentasi mulai membereskan kamera di sekitar paviliun. Mungkin karena sudah tidak ada yang menarik lagi setelah pangeran pergi, tapi dia justru merasa lega karena bisa lepas dari sorotan kamera.
Saat akhirnya para kru dokumentasi sudah pergi, hanya tersisa Kara dan Raga yang ada di Paviliun. Saat Kara terhanyut menikmati pemandangan, Raga menarik kursi yang tadi diduduki pangeran lalu memindahkannya di sebelah Kara. Ia lalu menempatkan diri duduk di kursi itu dan menemani Kara melamun.
Kara menoleh menatap Raga yang duduk di sana. "Iya aku memang duduk untuk melihat pemandangan juga."
Kara tersenyum kecil. Ia menyukai suasana ini. "Memangnya tidak apa kalau kamu seperti ini?"
Raga menoleh ke arahnya, "Memangnya penjaga bukan manusia? Kami juga manusia yang kadang ingin duduk."
Kara mendengus mendengar jawaban itu. "Apa kamu benar-benar tidak boleh duduk saat bekerja?"
Raga terlihat berpikir sejenak. "Bukannya tidak boleh, tapi kami tidak dapat tempat duduk, jadi di banyak situasi kami tidak duduk."
"Serius kamu boleh duduk?" Raga merespon dengan menganggukkan kepala antusias. Melihat itu Kara tidak langsung percaya tapi memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Ia membiarkan Raga duduk di sebelahnya. Ia berencana menanyakan kebenaran ucapan Raga pada Tatang saja.
"Maukah kamu melihat pemandangan senja di sini bersamaku?" Tanya Raga sambil menoleh ke arah Kara.
Kara menoleh dan cukup terkejut dengan Raga yang sudah memandang ke arahnya. Perasaan Kara mulai campur aduk, baru beberapa menit lalu dia bilang pada Dita kalau dia ingin melihat matahari tenggelam di sini, dan sekarang Raga menanyakan itu. Seakan-akan dia juga ingin bersama Kara.
"Kita lihat saja situasinya." Jawab Kara sambil mengalihkan pandangannya. Ia tidak kuat jika harus menatap ke arah Raga lagi.
Lelaki itu sepertinya cukup puas dengan jawaban Kara karena tanpa sadar Raga juga menyunggingkan senyum. Mereka akhirnya menghabiskan waktu yang tersisa dalam diam sambil menikmati kehadiran satu sama lain.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Edited: 04/08/2022

KAMU SEDANG MEMBACA
Privilege [END]
Ficción históricaWARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika tahu kalau dia dipilih langsung oleh Putra Mahkota dan menjadi kandidat nomor...