Saat Kara, Dayang Pendamping dan Penjaga pribadinya akhirnya keluar dari Aula utama, ia menghembuskan napas lega. Suasana di luar aula utama sudah sepi dan menurut tebakan Kara, mereka semua pasti sudah ada di aula makan.
"Sebelum itu, mari kita meluruskan satu hal. Bagaimana saya harus memanggil anda? tanyanya pada Dayangnya."
"Senyaman mbak Kartika saja." Jawab Mbok Kinanti tenang.
"Mbak? Ibu?" Tanya Kara dengan ekspresi tidak yakin. Akhirnya, Mbok Kinan menjawab, "Panggil Mbok saja. Raga juga manggil saya mbok. Saya terlalu tua untuk dipanggil Mbak ...""Ah baiklah, lalu kamu Mas Raga, Aku panggilnya gimana?"
"Ah, kamu panggil saya Raga saja, kita seumuran kok."
Kara tersenyum, pada keduanya lalu menambahkan. "Kalau begitu mari kita berkenalan secara resmi, sepertinya dini hari tadi kita tidak berkenalan dengan benar. Nama saya Kartika Anjani, tapi cukup panggil Kara saja."
"Baiklah, Kara, sekarang kamu harus ke aula makan. Di sana kita bisa bertemu dengan keluargamu."
Mbok kinan memimpin jalan sedangkan Raga berjalan di samping Kara. Saat ini Kara masih merasa semuanya tidak nyata. Baru dini hari tadi dia sampai di Keraton dengan disambut Mbok Kinan dan Raga. Ia sempat tidur sekitar dua jam sebelum akhirnya mempersiapkan diri. Tepat pukul enam pagi, Mbok Kinan datang untuk membantu Kara bersiap.
Sebagai kandidat yang dipilih secara pribadi oleh Gusti Pangeran, Kara merasa tertekan. Pandangan publik mengarah padanya. Bahkan dia merasa melakukan wawancara dengan buruk. Dia juga terjatuh di depan banyak orang ketika berjalan masuk ke aula.
Mengingat kejadian itu membuatnya ingin pulang saja. Kara memejamkan mata sekilas dan dalam hati mengutuk dirinya sendiri karena ceroboh, tapi hal itu malah membuatnya sekali lagi tersandung kakinya sendiri.
Untungnya, Raga menarik lengan Kara sebelum dirinya jatuh kali ini.
"Apa jatuh terjungkal adalah hobimu?" Tanya Raga sambil menarik Kara untuk berdiri tegak.
Gadis itu sudah terlalu malu. "Bukan, aku hanya tidak terbiasa dengan setelan ini dan sepatunya." Ucap Kara berdalih.
Raga mengamati Kara, "Bukannya kamu tadi berlari dengan pakaian yang sama saat berangkat?"
Kara menoleh menatap Raga, "Iyain aja kenapa sih, gak peka banget."
"Oke ... "
"Untuk mencegah aku jatuh terjungkal dan mempermalukan diri lagi, aku akan berpegangan pada lenganmu." Ucap Kara tenang.
Raga hanya diam dan membiarkan Kara mengenggam lengannya. "Baiklah ..." Jawab Raga pelan. Mbok Kinan yang sudah berjalan jauh di depan mereka menoleh ke belakang. Saat mendapati kedua anak muda itu jauh tertinggal di belakang, ia melambaikan tangan pada mereka untuk cepat datang mendekat.
Saat mereka sampai di aula makan, suasana di sana sudah ramai. Musik tradisional terdengar pelan di sela-sela hiruk pikuk orang-orang yang berbincang. Para Kandidat berkumpul dengan keluarga masing-masing. Setiap kandidat mendapat meja untuk mereka dan anggota keluarganya. Kara melihat Ibu dan adiknya sudah duduk sedang makan.
Kara baru saja akan mengambil makanan ketika dia berhenti dan menoleh ke arah Mbok Kinan, "Mbok gak makan? Trus kamu?" tambah Kara pada penjaganya.
"Para dayang punya tempat makan secara terpisah. Jadi kami tidak akan ikut di sini." Jawab Mbok Kinan tenang.
"Kalau kami punya jadwal makan yang berbeda, jadi aku akan stand by di sana bersama penjaga lainnya."
Raga menunjuk sisi ruangan, di sana para penjaga dari kandidat terlihat berdiri stand by sambil mengamati orang yang mereka jaga. Kara mengikuti arah pandang mereka dan menyadari kalau meja untuk para kandidat cukup berdekatan satu sama lain sehingga mudah bagi para penjaga untuk mengawasi.
![](https://img.wattpad.com/cover/285559710-288-k957546.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Privilege [END]
Narrativa StoricaWARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika tahu kalau dia dipilih langsung oleh Putra Mahkota dan menjadi kandidat nomor...