Sore menjelang mahgrib Alya menikmati suasana senja di taman belakang rumahnya sembari menikmati teh dan biskuit. Ia sibuk mengisi teka-teki silang hingga tidak sadar kalau suasana rumahnya semakin sepi secara tidak wajar. Ia berjengit keras saat mendengar suara Peter.
"Sore Ibu Alya. Pihak Keraton sudah mengamankan si original poster, dan kami tidak bisa menjangkaunya lagi."
Ibu Alya meletakkan kertas teka-teki silangnya di meja. Ia bergumam pendek, "Apa tidak ada orang lagi yang bisa dijadikan pengganti? Kita kan masih bisa merilis foto aslinya?"
Peter terlihat ragu. "Saya akan cari lagi. Memangnya Ibu mau kapan foto itu dirilis?"
Ibu Alya termenung sejenak. "Sepertinya jika dirilis saat perayaan pendirian kerajaan akan seru. Pasti gadis itu akan langsung diusir dari seleksi. Aku sungguh tidak menduga Keraton punya tumbal untuk dikorbankan di saat seperti itu."
"Baik saya mengerti. Akan saya laksanakan sesuai perintah." Peter menunduk sekilas sebelum keluar dari ruangan itu sedangkan Ibu Alya kembali melanjutkan mengisi teka-teki silang.
Saat suasana mulai gelap, lampu taman menyala secara otomatis. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat Ibu Alya menengok, ia melihat seorang laki-laki dengan baju serba hitam datang mendekat.
Ia segera berteriak memanggil staf rumahnya, tapi tidak ada seorangpun yang datang.
Saat si lelaki akhirnya muncul, Ibu Alya terjatuh di tanah karena merasa sebuah energi mendorongnya hingga terjatuh.
Mulanya ia mengira lelaki itu seorang perampok, tapi jika dia perampok, rasanya aneh kalau dia dengan sengaja mendatangi pemilik rumah tanpa menutup wajah sama sekali. Lelaki itu tinggi, kekar dengan rambut hampir sebahu dikuncir setengah. Ia mengenakan celana jins, kaos dan dilengkapi jaket.
Ibu Alya meringkuk tanpa bisa berdiri. Ia merasakan rasa takut yang mendalam saat sosok itu mendekat. Si lelaki mengawasi sekeliling ruangan lalu fokus lagi pada Ibu Alya. "Ah ... jadi anda dalang dibalik semua masalah yang menimpa Kara ya?" Bisiknya sambil menjongkokkan badan untuk memperhatikan Ibu Alya.
Ibu Alya merasa teritimidasi dan ketakutan. Mulutnya hanya bisa membuka tutup seperti ikan kehilangan air. Ia bahkan tidak bisa menjelaskan apa yang menimpanya saat itu.
Lampu di atas mereka tiba-tiba meledak sehingga menjatuhkan kepingan kaca pada Ibu Alya. Suasana yang gelap membuat Ibu Alya melihat aura berwarna jingga kecokelatan mengelilingi sosok Raga.
"Suruh Peter untuk memberikan semua file foto kencan itu pada penjaga Kara. Awas saja kalau kalian masih menyimpan filenya, pada saat itu aku tidak akan sekedar memecahkan bola lampu lagi." Ucap Raga pelan.
Ibu Alya masih tidak bisa mengeluarkan kata-kata karena sesuatu menahannya dan terus menimbulkan rasa ketakukan dalam dirinya.
Ibu Alya merasakan ketakutan itu semakin mendalam hingga membuat dirinya semakin tersungkur dengan napas yang semakin sesak. Tiba-tiba saja kilatan cahaya muncul di belakang Raga lalu memunculkan seorang bertundung dan wanita tua dengan tongkat jalan di tangan.
"Sudah hentikan. Kamu tidak seharusnya menggunakan restu dari beliau seperti ini nak ..." Ibu Alya mengenali suara itu. Si lelaki yang ada di depannya sedikit terkejut hingga aura di sekeliling badannya langsung redup. Ia berdiri lalu menghadap si wanita tua. Pada saat yang bersamaan rasa takut dalam diri Ibu Alya perlahan menghilang dan napasnya mulai kembali teratur.
Saat ia akhirnya bisa terduduk, ekspresinya mendadak kaget saat melihat Ibu mertuanya berdiri menatapnya dengan ekspresi sinis. "Keluarga kami yang akan mengurusnya jadi kamu kembali saja." Ucap Ibu Sastria sambil menepuk pundak Raga.
Ibu Sastria kemudian berjalan melangkah mendekat ke arahnya.
"Beruntung kamu adalah bagian dari Rajasa sekarang. Jika tidak, habis riwayatmu."Sebuah kilatan cahaya kembali bersinar. Ketika sinar itu sudah hilang, sosok lelaki bertundung dan lelaki pengitimidasi sudah hilang dari pandangan Ibu Alya. "Kita harus bicara."
***
Raga sedang duduk di sofa ruang kerja kakaknya ketika si empu ruangan datang dengan emosi yang masih menggebu, Dita menarik kerah baju Raga lalu berkata, "Skandal video dan foto-foto kencan Kara hari ini, kamu sendiri pelakunya? Kenapa? Apa kamu tidak tahu kalau semua itu semakin menyulitkan Kara?! Apa kamu gila?"Raga mendorong kakaknya hingga membuat Dita sedikit terlempar mundur. Kedua penjaga Dita masih siaga. Meskipun terdorong Dita tidak lemah, ia berhasil menyeimbangkan badannya agar tidak terjengkang ke belakang.
"Untuk menjawab pertanyaan kakak, Iya. Akulah orang yang menyebarkan video percakapan itu sekaligus merilis foto jelas kencan kami pada media."
Dita memejamkan matanya sambil menghembuskan napas. "Apa kamu tahu apa akibat dari tindakanmu?"
"Tentu saja. Kara akan dibenci publik, tapi di saat yang bersamaan, kakak tidak akan bisa memilihnya menjadi istri." Jawab Raga pelan.
"Kakak tahu kan kenapa aku melakukan ini?" Tanya Raga dengan ekspresi datar.
Dita samar-samar mengingat ucapannya tentang menjadikan Kara sebagai istri. Ia tidak sepenuhnya berjanji pada adiknya untuk tidak akan memilih Kara dalam seleksi ini.
"Apa kamu harus melakukan sampai seperti ini?"
"Ini adalah hal paling minimal yang bisa kulakukan." Sergah Raga singkat.
Dita terduduk di sofa seberang Raga, "Menurutmu bagaimana reaksi Kara jika dia mengetahui ini?"
Raga duduk di sofa juga. "Kakak tidak perlu khawatir. Aku akan jujur padanya saat waktunya tiba, jadi jangan ikut campur."
Dita mengalihkan pandangan dengan dengan ekspresi yang pahit. "Yasudah, terserah padamu. Aku malas bertengkar."
Dita kemudian beranjak dari sofa dan berjalan menuju meja kerjanya. Saat dia sudah duduk, Raga akhirnya berdiri. Ia berniat untuk pergi tetapi tertahan di dekat pintu.
"Apakah menurut kakak aku harus bilang siapa diriku sebenarnya pada Kara?" Tanya Raga pelan. Kini ekspresinya sudah berubah menjadi khawatir.
Dita melipat lengannya di dada saat mendengar ucapan itu. "Bukannya jujur itu kunci dalam sebuah hubungan?"
Raga bersandar di pintu sambil menghadap ke arah kakaknya, "Benarkah seperti itu?"
Dita menaikkan kedua bahunya. "Entahlah, tapi jika Kara konsisten tidak mau menjadi putri mahkota karena dia tidak mau memikul tanggung jawabnya, maka kemungkinan besar dia akan keberatan dengan posisimu juga. Apalagi kamu adalah Pangeran Kedua. Tugasmu mungkin jauh lebih berat dibandingkan dengan tugasku."
Raga menggelengkan kepala, "Tugas kita sama-sama berat dengan cara yang berbeda." Dita tersenyum mendengar ucapan adiknya.
"Lalu apa saran kakak?"
"Kara akan memberimu jawaban setelah seleksi selesai kan?" Yang dijawab dengan anggukan oleh Raga.
"Akan lebih baik kalau kamu menunjukkan identitasmu yang sebenarnya sebelum dia memberikan jawaban. Mari kita lihat apakah dia juga akan menolak Pangeran yang dia sukai." Jawab Dita sambil tersenyum.
Raga merespon dengan memutar bola matanya. "Sepertinya kakak sangat menginginkan aku ditolak ya?"
Dita tertawa, "Well, jika kamu ditolak dari sekarang, setidaknya akan mudah bagimu untuk move on. Dan tahukan sebelum rasa sukamu terlalu dalam."
"Jadi kakak berharap agar aku ditolak???"
Dita menggeleng, "Bukan seperti itu. Yang mau kukatakan adalah jangan ada kebohongan kecil dalam sebuah hubungan, karena kebohongan itu akan menimbulkan kebohongan lainnya lagi dan semakin membesar."
Raga menutup matanya mendengar kalimat itu. "Baiklah, kalau begitu biarkan aku ikut makan malam terakhir bersama para kandidat. Setelah itu, sisanya aku yang urus."
Ia melangkah keluar setelah mengatakan itu. Dita akhirnya mempersiapkan permintaan Raga dengang menghubungi kedua orangtuanya.
-----------------------------------------------------------------------------------------Edited: 04/08/2022

KAMU SEDANG MEMBACA
Privilege [END]
Historical FictionWARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika tahu kalau dia dipilih langsung oleh Putra Mahkota dan menjadi kandidat nomor...