Kara bahkan tidak bisa membenci Ibu Sastria walaupun dia mencoba dengan keras. Ia sudah bersikap sarkas, keras kepala dan secara umum memberontak pada Bu Sastria, tetapi wanita itu selalu menghadapi Kara maupun kandidat lain dengan kepala dingin. Ia selalu mengoreksi mereka dengan nada bicara yang tenang, dan tindakan yang lemah lembut.
Saat ini mereka sedang melakukan kelas table manner. Ibu Sastria meminta mereka untuk makan bersama. Ia tidak makan dan hanya berkeliling mengamati kandidat.
Tanpa bicara, Bu Sastria membenarkan postur duduk Lita yang ada di sebelah Kara. Ia juga memutar posisi garpu Kara agar menghadap ke bawah saat dia makan.
Bu Sastria melirik ke arah Renita dan Sekar lalu mengangguk untuk mengakui. Ia melihat ke arah Eka, lalu mendatanginya. Bu Sastria menegakkan kepala Eka, "Kamu kok ada kecederungan memiringkan kepala sih nak?"
Eka tertawa canggung, "Ah, iya bu. Sepertinya sudah jadi kebiasaan karena saya mengajar anak-anak."
"Hmm, kamu harus mulai memperbaikinya ya ..." Ujar Ibu Sastria.
Sebagian besar dari kandidat sudah selesai makan, maka Ibu Sastria memberi pengumuman singkat, "Saya melihat table manner semua orang di sini sudah baik. Maka saya akan segera merundingkan jadwal makan bersama dengan keluarga keraton dengan Dayang Riani.
"Kelas hari ini sudah selesai. Silahkan melanjutkan kegiatan kalian."
Ibu Sastria berjalan keluar ruangan. Sebagian besar kandidat masih berbincang, dan merapikan piring mereka. Kara segera membereskan piringnya sendiri lalu berjalan keluar untuk mengikuti Bu Sastria.
Untuk orang yang sudah berumur, Bu Sastria berjalan cukup jauh. Kara akhirnya bisa menyusul dan berjalan beriringan dengan Bu Sastria. Wanita itu bahkan tidak menoleh atau berhenti saat mendapati Kara berjalan mengikutinya.
Lorong bagian keraton tidak terlalu ramai. Mereka hanya sesekali berpapasan dengan Dayang dan Penjaga. Ibu Sastria masih berjalan hingga di sudut salah sati paviliun Ia berhenti, "Sepertinya kamu punya pertanyaan?"
Kara memandang wanita itu, "Apa ibu sudah tahu siapa saya?"
Ibu Sastria memandang Kara dengan sendu. Ia lalu melanjutkan jalannya dengan diikuti Kara. "Kamu harus mulai berbicara dengan menambahkan konteks. Ucapanmu barusan terdengar arogan."
Kara memutar bola matanya, "Hm, Ibu bukannya mengenal saya ya?"
"Aku tentu tahu siapa kamu tapi aku tidak mengenalmu." Jawabnya pendek.
"Benarkah? Lalu kenapa Ibu meninggalkan masa pensiun hanya demi menjadi guru para kandidat?"
Ibu Sastria berhenti. Ia mengalihkan pandang pada Kara sepenuhnya, "Aku hanya mau memastikan saja, supaya para kandidat putri mahkota bisa memenuhi ekspektasi dan sesuai standar. Dan lagi, aku juga masih bagian dari keluarga Keraton, tentu aku ingin kandidat yang pantas untuk bersanding dengan Kanjeng Pangeran."
Kara masih menatapnya, "Baiklah jika Ibu tidak mengenal saya. Saya harap akan terus seperti itu."
Kara lalu berbalik pergi. Ibu Sastria memandangi Kara sampai gadis itu tidak terlihat lagi. Ia kemudian melanjutkan berjalan pergi.
***
"Akan ada Dewan yang dibentuk untuk menjadi penilai calon putri mahkota." Jelas Dayang Riani."Keterlibatan kalian dalam kegiatan lapangan menandakan kalian harus mengamati lingkungan karena kunjungan kalian akan dijadikan dasar untuk proyek pembentukan Titah Aturan oleh Gusti Prabu."
"Sebentar, bukannya Titah Aturan itu berasal dari Gusti Prabu? Kenapa ada campur tangan kami dalam hal itu?" Tanya Eka terlihat bingung.
"Titah Aturan itu tidak semata dibuat sendiri oleh Gusti Prabu. Melainkan, melalui proses pengajuan, penyajian materi pada pejabat yang terkait lalu pengambilan suara untuk pengesahan. Banyak sekali isu yang diangkat di sini, jadi terkadang aturan itu tidak bisa disahkan jika tidak disetujui oleh sebagian besar dewan." Jelas Dayang Riani.

KAMU SEDANG MEMBACA
Privilege [END]
Historical FictionWARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika tahu kalau dia dipilih langsung oleh Putra Mahkota dan menjadi kandidat nomor...