Untuk ukuran gadis yang memakai jarik kebaya, Kara berjalan sangat cepat sampai membuat Peter hampir kehilangan jejaknya. Beruntung, penjaga Kara mengikuti gadis itu jadi Peter bisa mengikuti penjaga.
Rupanya gadis itu berjalan menuju taman keraton. Langit sudah gelap dan hanya ada penerangan lampu-lampu jalan di sepanjang jalan taman. Kara terlihat duduk di salah satu bangku di sudut taman yang jauh dari bangunan kompleks Keraton.
Si penjaga menjaga jarak dari Kara. Ia terlihat mengawasi dari jauh saat Kara duduk lalu menundukkan kepala di antara kedua tangannya. Tidak diragukan lagi gadis itu menangis. Langkah Peter dihentikan oleh si penjaga. Lelaki itu menoleh ke arahnya dengan ekspresi tanya. "Aku harus menyampaikan sesuatu padanya!" Sergahnya sedikit kesal.
"Bung, apa kau tidak bisa membaca situasi? Apa menurutmu dia ingin bertemu denganmu setelah kejadian tadi?" Bisik si penjaga.
Kali ini Peter ragu. Ia berniat ingin meminta maaf secara langsung pada Kara, tapi seperti yang dikatakan oleh penjaga itu, Kara kemungkinan besar tidak ingin bicara dengan siapapun kali ini.
"Aku hanya ingin minta maaf, ..." gumamnya terdengar ragu.
Raga hanya melirik ke arahnya, "Bukannya ucapan maafmu sudah tidak berarti? Nasi sudah menjadi bubur bung."
Peter mengambil dompet dari saku dalam jasnya lalu menarik selembar kartu nama. Peter memberikan kartu nama itu pada Raga. "Benar, aku sudah menyakitinya. Kalau begitu tolong sampaikan maafku pada Kara, dan jika dia butuh bantuanku, katakan saja untuk menghubungi kontak ini."
Raga menerima kartu nama Peter lalu lelaki itu menepuk pundaknya sambil berbalik pergi. Ia menunggu beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk mendatangi Kara. Beruntung Raga membawa sapu tangan di sakunya.
Raga berjalan mendatangi Kara, ia kemudian berjongkok di depan Kara lalu mencolek tangan Kara dengan jarinya pelan. Saat gadis itu mengangkat kepala, Raga tersenyum sambil mengulurkan sapu tangan miliknya.
"Sudah lega?" Tanya Raga tenang.
Kara yang matanya kini sembab dan basah menerima sapu tangan dengan keadaan masih sedikit terisak. Setelah beberapa saat gadis itu menutup wajahnya dengan saputangan, ia akhirnya melepas sapu tangan dari wajahnya. "Trims ..." ucap Kara pendek.
Keheningan melanda di antara mereka. Kara menatap Raga dalam dia. Pada akhirnya, tanpa sepatah katapun ia berdiri sambil menggenggam sapu tangan Raga, "Sapu tanganmu apa boleh untukku saja? Meskipun bisa dicuci, aku tidak enak jika harus mengembalikan sapu tangan yang sudah pernah dipakai mengelap ingusku ..." Ujarnya pelan.
Raga berdiri, saat Kara akhirnya menatap ke arahnya ia menganggukkan kepala sambil tersenyum. Seketika Raga teringat Peter. Ia lalu mengulurkan selembar kartu nama Peter pada Kara.
"Saat kamu keluar, dia mengikutimu. Aku menghentikannya saat dia mau mendatangimu langsung. Dia ingin minta maaf dan memintaku menyampaikan kartu nama ini. Peter bilang kamu bisa menghubunginya kapanpun jika butuh bantuannya." Jelas Raga.
Kara menerima kartu nama itu.
"Kamu bawa ponselku kan?"
"Ah, iya sebentar ..." Raga mengecek semua sakunya lalu mengeluarkan ponsel Kara. Sebelum acara dimulai, Kara menitipkan ponselnya pada Raga karena takut menganggu jalannya wawancara. Raga mengembalikan ponsel itu lalu Kara segera saja menyimpan nomor Peter di kontaknya.
"Kamu sudah memaafkan wartawan itu?" Tanya Raga sambil mengikuti Kara yang mulai berjalan kembali.
"Tidak ada gunanya menyimpan sakit hati pada orang. Lagipula, musuh hari ini bisa jadi teman di hari esok. Jadi lumayan juga jika aku memanfaatkannya nanti."

KAMU SEDANG MEMBACA
Privilege [END]
Fiksi SejarahWARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika tahu kalau dia dipilih langsung oleh Putra Mahkota dan menjadi kandidat nomor...