Pihak Keraton mendapat banyak tuntutan dari publik untuk segera mengeluarkan Kara dari seleksi. Bahkan jumlah dukungan masyarakat pada Kara yang semula tinggi menjadi jatuh. Kara menghindari kandidat lain sejak skandal video yang bocor pada publik. Apalagi mereka juga sudah tahu kalau Kara adalah cucu dari keluarga Werdana dan garis keturunan dari Rajasa, maka tindakan mereka jauh lebih hati-hati dari sebelumnya.
Setelah berita dirinya diakui sebagai keturunan Rajasa, amukan publik mereda meskipun masih banyak yang mengutuk Kara secara sembunyi-sembunyi. Dia sungguh harus berterima kasih pada privilege yang dia terima setelah menjadi bagian dari keluarga berpengaruh di Nagaragung.
Pembicaraan Kara dengan neneknya berjalan lancar. Setidaknya Kara tidak mengamuk dan melempar barang yang ada di depannya pada bu Sastri. Kara masih ingat percakapan itu adalah percakapan paling mencekam yang pernah Kara lakukan.
Begitu Ibu Sastria duduk, beliau meletakkan tongkat kayu penyangga jalannya di pinggir sofa.
"Jadi ... kenapa kamu mengasumsikan kalau ibu adalah dalang dibalik semua peristiwa kesialanmu di masa lalu?" Tanyanya tegas sambil menatap lurus ke arah Kara yang duduk di seberang.
"Saya mendapat informasi kalau orang yang menyuruh Peter untuk membongkar kisah kelahiran saya adalah seseorang dari pihak ayah. Bukan dari pihak kandidat lain. Menurut anda siapa yang muncul dalam pikiran saya setelah diberitahu seperti itu?" Tanya Kara.
Ibu Sastria tersenyum, "Memangnya hanya aku yang berasal dari keluarga ayahmu?"
Kara membuang muka sambil berdecak, "Kalau bukan anda pelakunya, lalu apa alasan anda meminta ibu saya putus dengan anak anda?"
Ibu Sastria meraih tongkat jalannya lalu memakainya sebagai sangga untuk kedua tangannya.
"Aku menyuruh ibumu putus tentu karena tidak mau dia masuk dalam keluarga ini." Ucapannya dingin menusuk. Kara menangkap maksud ucapan itu dengan cara yang berbeda.
"Oh jadi anda tidak mau punya menantu miskin?"
Ibu Sastria menghembuskan napas, "Ah, jadi aku terlihat seperti ibu-ibu dalam drama yang melarang anaknya menikah dengan orang dari kasta yang berbeda ya?"
Kara memiringkan kepala dengan ekspresi sinis untuk mengkonfirmasi pertanyaan Ibu Sastria.
"Keluarga Rajasa mempunyai sebuah tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Tanggung jawab itu diwariskan pada anak perempuan dalam keluarga, tetapi karena saat itu keluarga Rajasa tidak memiliki keturunan perempuan, maka aku sebagai menantu keluarga, mendapat tanggung jawab itu. Sayangnya aku juga tidak memiliki keturunan perempuan, jadi kemungkinan besar tanggung jawab itu akan diberikan pada menantu lagi. Alasan aku melarang ibumu untuk masuk dalam keluarga Rajasa adalah untuk mencegahnya masuk ke dalam tanggung jawab itu." Jelas Ibu Sastria dengan ekspresi serius.
"Memangnya tanggung jawab apa yang harus dipikul?" Tanya Kara.
"Aku tidak bisa mengatakan itu padamu sebelum kamu menjadi pewaris resmi tanggung jawab ini."
Kara mendengus mendengarkan jawaban neneknya. Rasanya banyak hal yang ditutupi. Ia berpikir kalau neneknya hanya mengada-ada. "Sangat tidak masuk akal. Tapi baiklah aku akan simpan alasan itu untuk sekarang. Aku masih mengaggap Ibu melakukan itu karena tidak sudi dengan status ibuku."
"Percaya atau tidak itu terserah padamu."
Kara hanya memutar bola mata mendengar ucapan itu. Ia melanjutkan pertanyaannya. "Kalau begitu apa alasan Ibu menjadi guru manner dalam seleksi ini? Rasanya bukan sekedar untuk melihat cucu kan?"
"Aku memang datang untuk melihat cucuku, karena saat ini aku sedang mencari orang yang bisa dipercaya untuk mengemban tanggung jawab yang kubicarakan tadi." Jawabnya pendek dan jujur hingga membuat Kara terkejut.
Kali ini Ibu Sastria menggunakan kesempatan untuk bertanya, "Jadi apalagi hal yang kamu pikir aku lakukan selain pertanyaan dari Peter."
Kara menjawab dengan jujur, "Skandal kencan, dan skandal tadi siang juga."
Ibu Sastria hanya menggelengkan kepala, "Menurutmu apa motifku melakukan itu semua?"
"Bukannya tujuannya jelas? Untuk mengusir saya dari seleksi ini kan?" Jawab Kara ngotot.
Ibu Sastria justru membalikkan pertanyaan pada Kara, "Bukannya kamu tidak ada niatan untuk jadi putri mahkota? Jadi kamu tidak akan kehilangan apa-apa kalau keluar kan? Lantas kenapa kamu kekeuh untuk bertahan dalam seleksi ini?"
Kara menghindari tatapan. Ia menjawab sesuai apa yang dia katakan sebelumnya, "Saya bertahan demi uang kompesasi."
Kali ini Ibu Sastria mendegus lalu tertawa. "Kalau kamu mau mewarisi tanggung jawab Rajasa yang kubicarakan tadi kamu akan mendapat uang bahkan melebihi jatah kompensasi menjadi kandidat."
Kara menggeleng, "Saya tidak mau menerima itu."
"Dasar manusia dengan ego besar."
Kara merengut mendengar itu, "Anda sendiri yang membuang saya." Celetuk Kara dengan nada tegas dingin.
"Saat itu aku tidak tahu kalau Ibumu sedang mengandung. Sebagai wanita tentu aku juga tidak akan tega memperlakukan sesama wanita seperti itu. Hamil bukanlah suatu hal yang mudah dijalani. Apalagi tanpa adanya pasangan."
Ibu Sastria terdiam. Ia memejamkan mata sambil mengatur pernapasan. Saat ia membuka mata, ekspresinya terlihat sedih dari sebelumnya. Ia juga menghembuskan napas pelan lalu menatap Kara lagi. Ekspresi Ibu Sastria membuat Kara tidak tega. Meskipun ingin membenci, ia tidak bisa membenci Ibu Sastria sepenuhnya.
"Kamu perlu tahu kalau keadaan Keraton tidak seperti sebelumnya. Skandalmu bersama laki-laki lain selain Dita itu adalah puncaknya. Apalagi kondisi diperparah dengan kasus Sekar yang dijadikan pengalihan isu. Apa kamu akan terus bertahan di sini?" Tanya Ibu Sastria.
"Saya tidak tahu ... jika setelah ini saya dikeluarkan dari seleksi, ya sudahlah ..." Jawab Kara dengan nada pasrah.
"Lagipula, saya dari awal tidak berniat menempati posisi sebagai Putri Mahkota." Tambahnya sambil menyandarkan diri pada sofa.
"Jika kamu kesulitan setelah seleksi, datang saja pada kami. Suka atau tidak, kamu tetaplah bagian dari keluarga Rajasa dan Werdana." Ujar Ibu Sastria.
"Jadi intinya, Ibu bukanlah dalang dibalik semua skandal yang menimpa saya?"
Ibu Sastria menggelengkan kepala, "Kalaupun aku mau mengeluarkanmu dari seleksi, cukup dengan mengancam saja pasti kamu sudah dikeluarkan dari seleksi ini. Cara picisan seperti itu terlalu rumit dan tidak membuahkan hasil dengan cepat."
Kara entah kenapa kelepasan tawa saat mendengar ucapan itu sedangkan Ibu Sastria hanya menaikkan satu alisnya. "Kalau bukan anda, lalu siapa?" Tanya Kara setelah ia selesai tertawa.
"Aku punya beberapa orang yang kucurigai, tapi dari semua itu ada satu orang yang mungkin saja akan rugi jika kamu mendapat posisi sebagai putri mahkota. Jadi, kita akan perlu makan malam bersama." Jelas Ibu Sastria.
Kara terkejut dengan ajakan neneknya, "Apa? Makan malam bersama?"
Ibu Sastria mengangguk, "Ayahmu adalah orang yang menang lelang kesempatan makan bersama salah satu kandidat putri mahkota. Jadi aku akan memintanya untuk mengundangmu makan bersama di rumahnya."
Kara menganga. "Ayah membeli kesempatan itu?!!!!"
Ibu Sastria tersenyum penuh arti, "Sepertinya kita harus segera menggunakan kesempatan itu sebelum tenggat waktunya habis." Wanita lanjut usia itu berdiri, "Aku harap kamu sudah tidak marah dan curiga padaku lagi. Mari kita berbincang lagi di lain waktu. Istiarahatlah ..." Tambah Ibu Sastria sambil berjalan pergi.
Lagi-lagi berbicara dengan Ibu Sastria malah membuat kemarahan Kara memudar. Ia tidak bisa membenci orang itu seberapa keras ia mencoba. Mungkin beliau menyakiti ibunya, tapi tindak tutur yang lemah lembut dan tidak menghakimi dari beliau membuat Kara lebih tenang dan melembek dari biasanya. Untuk saat ini Kara memutuskan makan malam dengan Ayahnya adalah cara untu mencari tahu lebih lanjut.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga chatper ini mengurangi kepusingan kalian, hehe~
Edited: 03/08/2022

KAMU SEDANG MEMBACA
Privilege [END]
Ficción históricaWARNING: JANGAN LOMPAT KE CHAPTER BONUS JIKA TIDAK INGIN KENA MAJOR SPOILER! Kara tidak mengikuti seleksi untuk menjadi putri mahkota. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika tahu kalau dia dipilih langsung oleh Putra Mahkota dan menjadi kandidat nomor...