43 - Wawancara

12.4K 1.6K 261
                                        

Gusti Pangeran beberapa hari terakhir semakin sering mengajak para kandidat untuk bertemu secara intens. Hari ini saat giliran Renita, ia menjadi paham kenapa lelaki itu mengajak mereka bertemu secara individu.

"Jika kita menikah, apa kamu bersedia memiliki anak?" Tanya Gusti Pangeran sambil melihat kertas berisi checklist di tangannya.

Renita memandang ke arah kertas itu sambil menjawab, "Tentu saja. Kan itu akan menjadi sebuah kewajiban bagi penerus?"

Gusti Pangeran mengangguk. "Adakah hal-hal tentang keluargamu yang perlu aku ketahui?"

"Aku punya dua ibu. Tetapi ibuku sendiri diasingkan dari rumah utama oleh Ayah. Dua kakak laki-laki dari istri kedua Ayah. Kakak kedua saya Aiden, tunarungu sejak remaja."

Gusti Pangeran mencatat itu semua tetapi ekspresinya terlihat menerawang jauh. "Ah Aiden. Ya, dia adalah temanku yang tiba-tiba menghilang saat remaja."

Renita menaikkan alisnya, "Mas Dita ingat itu?"

Pertanyaan itu membuat Gusti Pangeran mengalihkan pandangan ke arah Renita. "Kamu ingat aku?"

"Mas Dita lupa padaku?" Tanya Renita. Gusti Pangeran bersandar pada kursinya sambil melipat tangan di dada.

"Aku kira kamu tidak ingat padaku." Jawabnya pendek.

"Kita hanya selisih dua tahun jadi bagaimana aku lupa kalau kita pernah bermain bertiga?" Sergah Renita.

"Kakakmu tidak mengenaliku tuh ..." celetuk Gusti Pangeran. Setelah mendengar ucapan Gusti Pangeran, raut muka Renita mendadak murung.

"Kehilangan pendengaran bukanlah pengalaman yang menyenangkan bagi kakak, jadi yah, tolong dimaklumi jika dia tidak ingat pada teman lamanya." Respon Renita.

Gusti Pangeran menyandarkan tangan di meja, "Ah, maaf aku tidak tahu kalau hal itu membuat kakakmu menutup diri dari teman-temannya."

Renita mengangguk, "Intinya aku masih ingat kalau mas Dita adalah teman kak Aiden." Gusti Pangeran tersenyum mendengar itu, "Apa kamu menyukaiku sejak saat itu?" Tanyanya  dengan nada bercanda. Tetapi tawanya hilang ketika dia menyadari tidak ada respon dari Renita. Saat Gusti Pangeran mendongak, Renita menatap dirinya dengan intens.

"Iya .. aku suka mas Dita sejak saat itu." Jawab Renita dengan ekspresi serius. Gusti Pangeran menjatuhkan pulpen yang dipegangnya. Ia terdiam kehabisan kata-kata tetapi pandangannya masih diarahkan pada Renita. Sayangnya gadis itu menghindari pandangan sambil mengutuk dirinya sendiri dalam bisikan.

"Kenapa kamu keceplosan Renita ..." bisik Renita pada dirinya sendiri.

Gusti Pangeran tersenyum, "Jadi ini penyebab kamu sangat percaya diri dalam seleksi ini? Karena kamu suka aku?"

Renita beranjak berdiri berjalan menuju jendela, ia bersandar pada tembok di dekat jendela. "Aku mengira mas Dita berencana memilih seseorang yang dikenal atau setidaknya mas percaya. Dan aku percaya diri karena aku adalah orang seperti itu. Tapi, semua itu langsung runtuh ketika aku tahu Kara dan mas Dita berteman. Dan berdasarkan yang aku amati kalian cukup dekat."

Gusti Pangeran masih duduk di kursinya. "Kalau begitu, apa sekarang kamu menyerah?"

Renita tersenyum, "Tentu saja tidak. Karena aku tahu Kara menyukai orang lain."

Gusti Pangeran berdiri lalu berjalan ke arah Renita. Ia berdiri di sisi kiri jendela yang membuatnya sedikit berjarak dari Renita. "Sejak kapan kamu tahu?" Tanyanya sambil memandang ke arah luar.

Renita mengubah posisinya hingga berdiri di samping Gusti Pangeran, pundak mereka bersentuhan. "Dari awal aku sudah tahu. Cara Kara menatap orang itu .. dan tentu saja cara orang itu menatap Kara."

Privilege [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang