33 - Kepercayaan

226 32 7
                                    

Setelah selesai makan siang bersama, mereka kembali ke posko. Mahen dan Zuney sedang memotong-motong kertas warna, namun mereka terlihat saling diam, tidak ada yang memulai percakapan.

"Ini buat apa?" tanya Ardana yang mendekat.

"Buat materi senja ceria sore ini, Na." Zuney menoleh ke arah jendela. "Orang tua lo lagi ada di teras, lho. Kok lo di sini?"

Ardana mengangkat kedua bahunya. "Yang mereka mau tengok cuma Mas Una kayanya."

Zuney menatap sendu pada Ardana. "Nggak kok, Na. Mereka juga pasti kangen sama lo."

"Ini gue bantu gunting kertas warna kuning, ya?" Ardana terkesan mengalihkan pembicaraan, cowok itu meraih gunting yang baru saja diletakkan oleh Mahen.

"Na..." Zuney merebut gunting dari tangan Ardana. "Jangan gini..."

"Gini gimana, Ney?" Ardana terlihat kesal. "Gue gapapa, kok. Udah biasa juga diginiin."

Zuney bangkit. Lalu menarik tangan Ardana agar ikut berdiri. "Ikut gue."

Ardana yang kesal pun sempat memberontak, namun akhirnya ia menuruti langkah kaki Zuney. "Mau ngapain, sih?"

Zuney tidak menjawab, namun gadis cantik itu tetap membawa Ardana ke teras. "Bunda, maaf. Ini ada yang cemburu katanya."

Bunda yang sedang mengobrol bersama Arjuna pun menoleh, sementara Ayah yang sedang memerhatikan motor mereka pun segera mendekat pada Ardana.

"Kata Mas Una, Adek jatoh dari motor?" tanya Ayah dengan seksama.

"Eung..." Ardana menggaruk tengkuknya, mencari-cari jawaban.

Bunda dan Arjuna berdiri. "Sini, Dek," panggil Bunda seraya menepuk-nepuk ruang kosong yang ada di antara dirinya dengan Arjuna.

Ardana mendekat dengan wajah cemberut, membuat Bunda dan Arjuna tertawa.

Arjuna mengacak puncak kepala Ardana. "Jangan sok jual mahal! Nanti Bunda sama Ayah pulang malah nangis," cibirnya.

Ardana berdecak lidah. "Abisnya Bunda sama Mas terus."

Bunda semakin tertawa gemas melihat putera bungsunya. "Yaudah deh, Bunda minta maaf." Bunda menawarkan jabatan tangan pada Ardana. "Dimaafin, nggak, nih?"

Dengan perlahan Ardana mencium punggung tangan Bunda. "Iya dimaafin."

Bunda menghujani pipi Ardana dengan kecupan ringan, membuat Ardana tersenyum, kemudian tertawa.

"Bunda, ih, adek kan udah gede."

"Halah, gede apaan, masih suka ngambek sama nangis, ya, Bun, Yah?" cibir Arjuna lagi.

Ayah tertawa. "Adek, tadi ayah tanya, Adek jatoh dari motor?"

"Iya, Yah," jawab Ardana pelan. "Tapi motornya udah Adek benerin, kok." Ardana bersembunyi di balik punggung Arjuna. "Mas tolongin, gue takut dimarahin Ayah," bisiknya.

"Luka-luka tuh, Yah, lututnya." Bukannya menolong, Arjuna dengan lantangnya membeberkan semua yang Ardana sembunyikan.

"Aduh Adek..." Bunda segera memegang kaki Ardana. "Coba Bunda liat."

Ardana memegangi lututnya. "Tapi Ayah janji jangan marah, ya?"

Ayah mengangguk, lalu berjongkok di depan lutut Ardana. "Mana coba Ayah juga mau liat."

Mel(ingkar) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang